Kehadiran Alwi Alatas, sebagai seorang Doktor Ilmu Sejarah diharapkan
akan memperkuat usaha perjuangan ‘meluruskan sejarah’ di Indonesia
PADA hari Selasa, 30 Mei 2017, bertepatan dengan 4
Ramadhan 1438, Mudir PRISTAC Ponpes at-Taqwa Depok, Alwi Alatas meraih
gelar doktor dalam bidang Ilmu Sejarah di International Islamic
University Malaysia (IIUM). Alwi berhasil mempertahankan disertasinya
yang berjudul: ECONOMY OF THE PRIBUMI IN LATE COLONIAL JAVA 1900-1942: CONTINUITY AND CHANGE IN PRIANGAN.
Selama ini, Alwi Alatas dikenal sebagai guru, sejarawan, penulis buku, dan juga Mudir/Direktur PRISTAC (Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization). PRISTAC adalah lembaga pendidikan non-formal pesantren setaraf SMA yang berada dalam naungan Pesantren at-Taqwa Depok. (http://www.ponpes-attaqwa.com)
Ada pun tentang disertasinya, menurut Alwi Alatas, isinya berkenaan
dengan aktivitas ekonomi masyarakat pribumi di kawasan Priangan di Jawa
Barat yang meliputi daerah Bandung, Garut, Tasikmalaya, Sumedang,
Ciamis, dan juga Sukabumi serta Cianjur pada akhir era kolonial Belanda.
Pada periode yang diteliti ini, yaitu tahun 1900 hingga 1942,
pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan satu kebijakan baru, yaitu Politik Etis,
yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat pribumi yang
pada masa-masa sebelumnya telah mengalami kemerosotan yang hebat
disebabkan kebijakan kolonial yang eksploitatif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk “mengkaji kebijakan ekonomi
pemerintah kolonial di Priangan antara tahun 1900-1942 serta dampaknya
bagi masyarakat pribumi”. Selain itu, studi ini juga “menjelaskan
aktivitas ekonomi masyarakat pribumi di Priangan dalam bidang pertanian
dan di luar pertanian serta pola perubahannya selama periode tersebut”.
Disertasi setebal 311 halaman ini dibagi dalam tujuh bab dengan
proposal penelitian pada bab pertama, diikuti dengan ekonomi Pribumi di
Priangan sebelum abad ke-20 pada bab kedua, dan pemaparan tentang
kebijakan Politik Etis tahun 1900-1942 pada bab ketiga. Tiga
bab berikutnya menjelaskan tentang ekonomi Pribumi di Priangan
masing-masing di bidang pertanian, industri, dan kewirausahaan. Bab
penutup merupakan kesimpulan dari penelitian ini.
Yang bertindak sebagai penguji (examiner) atas disertasi ini
adalah Prof. Dr. Wan Kamal Mujani dari Department of Arabic Studies and
Islamic Civilization, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Prof. dr.
Saiyid Zaheer Husain Jafri dari Department of History, University of
Delhi, India. Keduanya merupakan external examiners, serta seorang internal examiner, yaitu Prof. Dr. Arshad Islam dari Department of History and Civilization, IIUM. Pada sidang disertasi, hanya internal examiner yang dapat hadir, sementara dua orang external examiners tidak dapat hadir, tetapi masing-masing memberikan evaluasinya secara tertulis.
Sidang disertasi alwi Alatas dipimpin oleh Prof. Dr. Ismaiel
Hassanein Ahmed Mohamed dari Kulliyah of Education, IIUM, dan dihadiri
oleh Dr. Elmira Akhmetova dari Department History and Civilization,
Asst. Prof. Dr. Wan Suhana Wan Sulong selaku pembimbing (supervisor), seorang sekretaris akademik, serta Prof. Arshad Islam sebagai internal examiner. Sidang dimulai pukul 14.30 waktu Malaysia dan berjalan selama kurang lebih satu jam.
Penelitian ini memaparkan bahwa pada era kolonial, khususnya di abad
ke-19, telah terjadi eksploitasi ekonomi yang menyebabkan kemunduran
serius pada tingkat kemakmuran masyarakat. Hal ini mendorong pemerintah
kolonial untuk mengeluarkan kebijakan baru, yaitu Politik Etis,
untuk memperbaiki tingkat ekonomi masyarakat pribumi. Kebijakan ini
secara umum memang membantu meningkatkan ekonomi masyarakat di negeri
jajahan, termasuk di Priangan, tetapi ada banyak data yang menunjukkan
tentang keengganan atau kekurangseriusan pemerintah kolonial dalam
menjalankan kebijakan ini. Perbaikan ekonomi tersebut pada akhirnya
tidak sedikitpun mengangkat kedudukan masyarakat pribumi ke tingkat yang
sama dengan orang-orang Eropa, tetapi hanya meningkatkan daya beli
mereka yang membuat orang-orang Belanda dan Eropa dapat memasarkan
produk-produk mereka dengan lebih baik kepada masyarakat pribumi.
Karena itu Harry J. Benda dalam Continuity & Change in Southeast Asia menyebut kebijakan ini sebagai “setengah hati” (half-hearted). Begitu pula Adrian Vickers dalam A History of Modern Indonesia menggarisbawahi bahwa pada periode Politik Etis “basis bagi negeri koloni tetap keuntungan” (the basis of the colony was still profit)
dan “kaum liberal memasukkan ‘kecintaan pada orang-orang Jawa’ di dalam
laporan-laporan publikasi mereka, tetapi tidak membiarkan hal itu
menyentuh kantong-kantong mereka” (the Liberals entered “Love for the Javanese” in their published accounts, but did no let it touch their pockets). Ini terlepas dari kenyataan bahwa mungkin saja ada beberapa pejabat Belanda yang tulus dalam usahanya membantu kaum pribumi.
Priangan pada periode yang diteliti ini mengalami beberapa perubahan
yang cukup penting di bidang ekonomi. Laporan-laporan memperlihatkan
adanya peningkatan kemakmuran di tengah masyarakat pribumi di Priangan.
Masyarakat pribumi yang sebelumnya sangat didominasi oleh pertanian dan
perkebunan dalam mata pencaharian mereka, kini juga semakin bergeser ke
bidang-bidang non-pertanian, walaupun persentasenya masih sangat kecil
dibandingkan bidang pertanian.
Semakin banyak masyarakat pribumi yang bekerja di sektor industri dan
keahlian seperti tekstil dan batik, pembuatan genteng dan batu bata,
menjadi mandor, juru masak, dan lain sebagainya. Bahkan mulai
bermunculan pengusaha-pengusaha pribumi yang mengembangkan usaha di
bidang keuangan, koperasi perkebunan, tekstil, bahkan dalam hal impor.
Usaha-usaha ini biasanya dijalankan dalam bentuk koperasi yang memang
mulai berkembang di Indonesia pada dekade kedua abad ke-20.
Di antara contoh usaha yang diterangkan dalam disertasi ini antara lain koperasi teh Madoe Tawon
di Sukabumi, bank koperasi Himpoenan Soedara di Bandung, dan beberapa
perusahaan tekstil di Majalaya. Usaha-usaha ini mampu bertahan hingga ke
akhir era kolonial Belanda, bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat
baik. Koperasi petani teh Madoe Tawon, sebagai contoh, berdiri
pada tahun 1911 dengan bantuan pejabat kolonial. Modal awalnya sebesar f
3.000, yang baru terhimpun dari para anggotanya pada tahun 1916, di
samping modal berupa lahan senilai kurang lebih f 2.000. Koperasi ini
mampu berkembang sehingga beberapa tahun kemudian dianggap sudah mampu
mandiri oleh pemerintah kolonial. Madoe Tawon berhasil mengikat
kontrak penjualan daun teh dengan sebuah perusahaan teh Eropa. Pada
tahun 1923, koperasi ini memiliki total aset dan dana cadangan senilai
total f 20.570, dan dividen yang telah dibagikannya kepada para
anggotanya hingga ke tahun tersebut adalah sebesar f. 25.887. Walaupun
sempat terpukul depresi ekonomi pada awal 1930-an, koperasi ini mampu
bertahan dan kemudian berkembang kembali, hingga pada akhir era kolonial
Belanda bisnisnya melebar ke bidang-bidang perkebunan selain teh.
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat pribumi memiliki
kemampuan untuk berkembang secara ekonomi sekiranya mereka diberi
peluang dan kesempatan yang sama dengan anggota masyarakat lainnya.
Namun, penjajahan yang panjang telah menghilangkan kesempatan ini dan
menjadikan masyarakat pribumi tak lebih dari obyek eksploitasi ekonomi.
Bahkan ketika pemerintah kolonial bermaksud membayar hutang budinya
lewat Politik Etis, hal ini tidak dilakukan dengan sepenuh hati.
Dalam kesimpulan penelitiannya Alwi menyebutkan bahwa kebijakan
ekonomi pemerintah kolonial pada periode ini memang secara umum telah
membantu meningkatkan taraf ekonomi masyarakat pribumi, tetapi tetap
tidak ada perubahan pada struktur ekonomi yang ada. Artinya, masyarakat
pribumi tetap berada di level terendah dalam struktur ekonomi di Hindia
Belanda, di mana orang-orang Belanda dan Eropa menempati posisi teratas
dan orang-orang China dan Timur Asing berada di posisi menengah. Hal ini
memperlihatkan secara jelas bahwa pemerintah kolonial tidak membantu
dengan sungguh-sungguh upaya perbaikan ekonomi masyarakat jajahan dan
bantuan itu tidak diberikan melainkan untuk mengembalikan keuntungan
terbesarnya kepada bangsa penjajah sendiri.
Presentasi disertasi Alwi Alatas dilanjutkan dengan diskusi singkat
dengan para akademisi yang menghadiri sidang disertasi. Para penguji
memberikan beberapa saran, baik secara lisan maupun tulisan, terkait
sedikit editing bahasa dan beberapa tambahan untuk penyempurnaan
disertasi. Walhasil, Alhamdulillah, Alwi Alatas berhasil meraih gelar doktor dalam Ilmu Sejarah. Kita doakan, semoga ilmu dan gelarnya bermanfaat.
Kehadiran Alwi Alatas, sebagai seorang Doktor Ilmu Sejarah diharapkan
akan memperkuat usaha perjuangan ‘meluruskan sejarah’ di Indonesia.
Sebelumnya, Dr. Tiar Anwar Bahtiar juga telah lulus doktor ilmu sejarah
dari Universitas Indonesia, dengan disertasi tentang sejarah pergulatan
pemikiran Islam melawan liberalisme di Indonesia. Kita berharap,
setelah Dr. Tiar dan Dr. Alwi, akan bermunculan para sejarawan muslim
yang gigih berjihad dalam bidang ilmu sejarah.
Sebab, ilmu sejarah memegang peranan yang penting bagi kebangkitan
suatu bangsa atau peradaban. Seperti ditulis oleh Cendekiawan Muslim,
Muhammad Asad dalam bukunya, Islam at the Cross Roads: “No civilization can prosper – or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past…”
Karena itu, bisa dipahami, jika untuk mengebiri kebangkitan peradaban
Islam, maka umat Islam diajarkan sejarah yang salah. Pelajaran sejarah
tidak membuat banyak pelajar muslim Indonesia bangga dengan sejarahnya
dan bahkan mereka tidak mengenal para ulama dan pejuang Islam Indonesia.
Ketika bicara tentang sejarah pendidikan Indonesia, anak-anak sekolah
tidak mengagumi KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir,
dan lain-lain, sebagai tokoh pendidikan nasional. Mungkin banyak
anak-anak muslim di Jakarta dan sekitarnya saat ini yang tidak mengenal
dan mengagumi Habib Usman, KH Abdullah Syafii, KH Noer Ali, dan
sebagainya. Jika kenal saja tidak, bagaimana mereka akan mengagumi dan
menjadikan para ulama itu sebagai panutan?
Karena itulah, untuk mewujudkan kebangkitan umat Islam dan bangsa
Indonesia, kita menunggu dan berharap kiprah Dr. Alwi Alatas, Dr. Tiar
Anwar Bahtiar, dan para sejarawan muslim lainnya. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan kekuatan kepada para ilmuwan pejuang tersebut. Amin.*
Penulis guru Pesantren at-Taqwa Depok-Jawa Barat. Radio dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Sumber: https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2017/06/07/118137/teliti-ekonomi-pribumi-mudir-pristac-raih-gelar-doktor-sejarah.html
Sumber: https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2017/06/07/118137/teliti-ekonomi-pribumi-mudir-pristac-raih-gelar-doktor-sejarah.html
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer