Sejumlah anak muda menjadi pembela dakwah dan perjuangan Rasulullah Saw dalam menegakkan Islam. Usia mereka belasan tahun hingga 20-an tahun.

SETELAH kita menyimak kisah heroik-Islami dua  mujahid cilik dalam Perang Badar, Muadz bin Amr dan Muawwidz bin Afra’,  yang berhasil membunuh Abu Jahal, kali ini kita akan menyimak betapa banyak anak muda dalam perjalanan dakwah dan jihad Nabi Muhammad Saw.

Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasul tatkala berusia 40 tahun, usia matang yang bisa dikatakan tidak lagi muda. Namun, para pengikut generasi pertama beliau kebanyakan anak muda, usia belasan tahun, bahkan ada yang masih kecil.

Usia para pemuda Islam yang dibina pertama kali oleh Rasulullah saw di Daarul Arqaam pada tahap pembinaan, adalah sebagai berikut:

  1. Yang paling muda yaitu Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Al-Awwam (8 tahun)
  2. Thalhah bin Ubaidillah (11 tahun)
  3. Al-Arqaam bin Abil Arqaam (12 tahun)
  4. Abdullah bin Mazh’un (17 tahun)
  5. Ja’far bin Abi Thalib (18 tahun)
  6. Qudaamah bin Abi Mazh’un (19 tahun)
  7. Said bin Zaid dan Shuhaib Ar Rumi (dibawah 20 tahun)
  8. 'Aamir bin Fahirah (23 tahun)
  9. Mush’ab bin ‘Umair dan Al Miqdad bin al Aswad (24 tahun)
  10. Abdullah bin al Jahsy (25 tahun)
  11. Umar bin al Khathab (26 tahun)
  12. Abu Ubaidah Ibnuk Jarrah dan ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Amir bin Rabiah, Nu’aim bin Abdillah, ‘ Usman bin Mazh’un, Abu Salamah, Abdurrahman bin Auf di mana kesemuanya (sekitar 30 tahun)
  13. Ammar bin Yasir (30-40 tahun)
  14. Abu Bakar Ash Shiddiq (37 tahun).
  15. Hamzah bin Abdul Muththalib (42 tahun)
  16. 'Ubaidah bin Al Harith (50 tahun), yang paling tua.
Banyak pula sahabat Nabi Saw yang berusia muda menjadi pemimpin perang.

Usamah bin Zaid diangkat oleh Nabi Saw sebagai komandan pasukan kaum Muslimin menyerbu wilayah Syam (saat itu merupakan wilayah Rom) dalam usia 18 tahun. Di antara prajurit terdapat orang yang lebih tua, seperti Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan lain-lainnya.

Sebelumnya, dalam Perang Khandaq, Usamah bin Zaid datang bersama kawan-kawannya sesama "remaja ABG". Usamah berdiri tegap di hadapan Rasulullah Saw supaya kelihatan lebih tinggi, agar diperkenankan turut berperang.

Rasulullah Saw yang kasihan melihat Usamah yang bertekad kuat ingin berperang memenuhinya. Ketika itu Usamah baru berusia 15 tahun!

Abdullah bin Umar saat berumur 13 tahun menyatakan ingin ikut Perang Badar. Ibnu Umar bersama al-Barra’ datang kepada Nabi Saw seraya meminta agar diterima sebagai prajurit. Saat itu Rasulullah Saw menolak kedua pemuda kecil itu.

Tahun berikutnya, pada Perang Uhud, keduanya datang lagi, tapi yang diterima hanya Al-Barra’. Pada perang Al-Ahzab (Khandaq) barulah Nabi Saw menerima Ibnu Umar sebagai anggota pasukan kaum Muslimin (Shahih Bukhari).

Di antara 10 sahabat Nabi Saw yang paling awal masuk Islam sekaligus dijamin masuk surga oleh Nabi Saw dalam satu hadits, mayoritas berusia muda saat pertama kali masuk Islam:
  1. Abu Bakar ash Shiddiq 37 tahun
  2. Umar bin Khattab 27 tahun
  3. Utsman bin Affan 34 tahun
  4. Ali bin Abi Thalib 10 tahun
  5. Thalhah bin Ubaidillah 14 tahun
  6. Zubair bin Awwam 16 tahun
  7. Saad bin Abi Waqqash 17 tahun
  8. Said bin zaid 15 tahun
  9. Abu Ubaidah bin Jarrah 27 tahun
  10. Abdurahman bin Auf 30 tahun.
Demikianlah Anak-Anak Muda di Sekitar Rasulullah Saw yang menjadi mujahidin fillah, pejuang pembela agama Allah SWT.

Semoga menjadi inspirasi bagi anak-anak muda zaman kini, juga inspirasi bagi generasi tua untuk lebih membina ghirah dan ruhul jihad kawula muda. Amin...! (http://www.risalahislam.com).*

Sumber: http://risalahislamterkini.blogspot.co.id/2015/06/anak-anak-muda-di-sekitar-rasulullah-saw.html


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Jika umat Islam kalah dalam berbagai bidang kehidupan, maka patut dilakukan evaluasi yang serius kondisi pendidikan kita
Oleh: Dr. Adian Husaini

“MASA SMA” biasanya berkisar usia 15-18 tahun. Di Indonesia, program pendidikan masa SMA secara umum dibagi menjadi dua. Pertama, jalur SMU yang menyiapkan siswanya untuk  memasuki jenjang Perguruan Tinggi. Kedua, jalur SMK, yang menyiapkan siswanya untuk siap terjun ke dunia kerja. Di era 1980-an, pemerintah pernah memiliki program Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP), yang menggabungkan dua jenis program itu dalam satu sekolah. Saya termasuk salah satu lulusan SMPP, tahun 1984.
Di tahun 1981-1984, atas nasehat orang tua, saya menjalani dua program pendidikan. Di SMPPN Bojonegoro dan di Pesantren al-Rosyid Kendal Bojonegoro. Dari ratusan siswa SMPPN Bojonegoro, hanya dua orang yang nyantri di Pesantren al-Rosyid. Di Pesantren inilah saya sempat belajar dan menamatkan sejumlah “Kitab Kuning”, seperti Matan al-Ajurrumiyah, Ta’limul Muta’allim, al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, Uqudul-Lujain, Riyadhus Shalihin, dan sebagainya.
Disamping itu, saya masih rutin membaca Majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Buya Hamka. Sejumlah buku sempat mempengaruhi pola pikir saya, seperti buku Tasauf Modern karya Buya Hamka, Iman Jalan Menuju Sukses karya KH Najih Ahjat, al-Quran Dasar Tanya Jawab Ilmiah, Biologi Iman, dan sebagainya. Di pesantren ini pula saya mendapat kesempatan belajar hidup mandiri; dilatih hidup tanpa listrik, tidur tanpa kasur dan bantal, serta memasak dan mencuci sendiri. Uang Rp 5 ribu, cukup untuk sebulan.
Lulus dari jenjang SMPP, alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan kuliah tanpa tes ke IPB (Jalur Perintis II), dan ke Jurusuan Pendidikan Fisika IKIP Malang, melalui jalur PMDK.  Hasil istikharah, saya memutuskan kuliah di IPB.  Itu juga amanah sekolah, karena saya satu-satunya wakil SMPP untuk kuliah di IPB.  Seperti melanjutkan pendidikan pesantren, di Kota Bogor ini pula, saya berkesempatan belajar Islam kepada banyak ulama terkenal, seperti KH Abdullah bin Nuh, KH Tubagus Hasan Basri, KH Sholeh Iskandar, KH Didin Hafidhuddin, Ustad Abdurrahman al-Baghdadi, dan sebagainya.
Pengalaman belajar di SMA dan Pesantren itu terjadi lebih dari 30 tahun lalu. Dunia kini sudah banyak berubah. Perkembangan pesat dalam dunia komunikasi, mau tidak mau juga memaksa dunia pendidikan ikut berubah. Satu yang belum banyak berubah adalah “orientasi lulusan SMA”, masih terarah kepada “Perguruan Tinggi Favorit”. Bahwa, tujuan utama belajar di bangku SMA adalah menyiapkan diri untuk bisa kuliah di Perguruan Tinggi favorit.
Di bangku SMA pada umumnya, biasanya para siswa tidak diberikan kajian-kajian pemikiran yang serius tentang peradaban, tentang sejarah, tentang pemikiran Islam, tentang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya. Sebab, para siswa SMA dianggap masih “anak-anak”. Mereka dianggap belum dewasa. Dalam istilah lain, para siswa SMA dimasukkan ke dalam ketegori “Remaja”.
Lazimnya, dalam psikologi, remaja (adolensence) dianggap periode peralihan anak menuju dewasa. Ia tidak mempunyai tempat yang jelas. Anak bukan, dewasa belum. Masa remaja berkisar pada usia 12-21 tahun bagi wanita dan 13-22 pria. (http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/).  Konon pula, menurut pakar Psikologi Perkembangan seperti Hurlock (1990), dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition).
Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah masa beralihnya pandangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan penting.” (http://www.psychoshare.com/file-119/psikologi-dewasa/perkembangan-dewasa-awal.html)
Tampak, bahwa konsep remaja itu didasarkan pada penelitian empiris yang sangat tergantung kepada objek penelitian. Padahal, kondisi objek penelitian itu sendiri, ditentukan oleh proses pendidikan yang diterimanya. Jika objek yang diteliti adalah komunitas orang bingung (golongan bingung/golbin), maka kesimpulan yang diraih pun kesimpulan bingung. Coba, yang diteliti adalah anak-anak muda yang sudah mantap iman dan pemikirannya, tentu definisi remaja pun akan berbeda.

Sudah dewasa
Pengkategorian “masa SMA” sebagai masa “remaja” dan “belum dewasa” kini mulai dipertanyakan.  Sebab, begitu memasuki umur  15 tahun, manusia sudah tergolong dewasa.  Adriano Rusfi adalah salah satu psikolog yang dikenal gencar mengkritisi kategorisasi remaja bagi usia SMP-SMA. Beberapa kali saya mendengar paparan beliau. Menurutnya, literatur psikologi abad ke-19 tak mengenal masa remaja (adolescence), karena masa remaja adalah produk abad ke-20 dimana telah lahir generasi dewasa fisik (baligh) namun tak dewasa mental (aqil).
Dengan “legalitas remaja”, seolah-olah anak dibiarkan berlama-lama menjadi anak-anak. Maka, lahirlah generasi yang matang syahwatnya, tetapi tanpa kematangan akal. Karena masih remaja, dan dianggap belum dewasa, maka usia remaja dianggap belum matang, dan masih belum bisa menentukan sikap hidupnya.
Pandangan Adriano Rusfi ini menarik. Sebab, memang tidak jarang muncul kerancuan. Manusia berusia 17 tahun, sudah mampu memperkosa dan membunuh, tetapi dikategorikan status hukumnya sebagai “anak-anak”.  Dalam Islam, jika seorang sudah memasuki tahap ‘baligh’, maka ia sesungguhnya telah dewasa. Ketika itulah seharusnya ia dididik sebagai manusia dewasa. Tentu saja sesuai dengan kondisi usianya.
Dalam UU Perkawinan No 1/1974, batas minimal usia menikah bagi wanita adalah 16 tahun. Batas umur itu mengindikasikan, sepatutnya seorang wanita telah disiapkan jiwa raganya untuk menjadi dewasa. Pendidikan harus mendewasakan dan memandirikan; bukan justru memaksa anak berlama-lama menjadi anak-anak.
Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Umar r.a. disebutkan, bahwa Rasulullah saw memanggil Abdullah bin Umar untuk hadir ke hadapan beliau menjelang Perang Uhud. Ketika itu usia Abdullah 14 tahun. Dan Rasul tidak mengijinkannya ikut berperang. Kemudian Rasulullah saw kembali memanggil Abdullah hadir ke hadapan beliau menjelang Perang Khandaq. Usia Abdullah bin Umar  ketika itu 15 tahun. Rasulullah saw lalu mengijinkan Abdullah berperang.” Nafi’ berkata, “Aku datang kepada Umar bin Abdul Aziz yang merupakan Khalifah pada waktu itu dan menyampaikan riwayat tersebut. Khalifah berkata, “Usia ini (15 tahun) adalah batas antara anak-anak dan dewasa.” Dan beliau perintahkan kepada para gubernur untuk memberikan tunjangan kepada siapa saja yang telah mencapai usia 15 tahun.” (HR Bukhari).
Jadi, berdasarkan pada hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam tersebut, dan juga berbagai fakta sejarah pendidikan, bisa dipahami, bahwa usia 15 tahun adalah masa anak-anak memasuki masa dewasa. Jangan sampai dalam masa usia 15 tahun, para siswa tidak disiapkan jiwa dan raganya agar benar-benar menjadi manusia dewasa yang sejati. Rasulullah saw telah memberikan teladan, bagaimana mendidik anak-anak umur belasan tahun menjadi matang di usia yang sangat muda.
Kisah yang masyhur menyebutkan, bahwa Usamah bin Zaid, diangkat oleh Nabi saw menjadi Panglima Perang di usia 18 tahun. Dalam sebuah peperangan melawan Romawi, Usamah memimpin pasukan yang di dalamnya ada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., Umar bin Khathab r.a., dan lain-lain. Usamah mulai diijinkan ikut perang pada usia 15 tahun.
Abdullah bin Umar dan al-Barra’ saat berumur 13 tahun belum diijinkan Nabi untuk ikut perang, meskipun mereka mengajukan diri.  Diantara sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang masuk Islam di usia yang sangat muda adalah Ali bin Abi Thalib (10 tahun), Thalhah bin Ubaidillah (14 tahun), Zubair bin Awwam (16 tahun), Saad bin Abi Waqqash (17 tahun), Said bin zaid 15 tahun, dan sebagainya. (http://risalahislamterkini.blogspot.co.id/2015/06/anak-anak-muda-di-sekitar-rasulullah-saw.html).
Di Indonesia, pun banyak dijumpai tokoh-tokoh yang sudah matang jiwa dan raganya di usia belasan tahun. Menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, ayah beliau, yakni KH Imam Zarkasyi mendirikan pesantren Gontor di usia 16 tahun.  Haji Agus Salim diangkat sebagai Konsul Hindia Belanda di Jeddah pada usia 20 tahun. Mohammad Natsir sudah berdebat dengan pendeta Belanda saat duduk di bangku SMA. Lulus SMA, Pak Natsir terjun langsung menjadi guru dan mendirikan sekolah sendiri (Pendis:Pendidikan Islam), tahun 1932.
Sejumlah tokoh PKI pun mulai berkiprah di usia sangat muda. Contohnya, Semaoen. Pada usia sekitar 18 tahun, ia sudah memimpin Sarekat Islam (SI) Semarang bersama rekannya, Darsono. Akhirnya, Semaoen keluar dari SI dan mendirikan Persyarekatan Komunis India (PKI) yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia/PKI. (lihat Suradi; Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Pustaka Sinar Harapan, 1997). https://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/22/kaum-muda-penggerak-revolusi-indonesia/
Dr. Erma Pawitasari, dalam sebuah makalahnya berjudul “Pendidikan Khusus Perempuan: Antara Kesetaraan Gender dan Islam”, mengungkap hasil penelitian Frances E. Jensen, seorang ahli neurologi, yang menemukan bahwa pertumbuhan otak perempuan mencapai puncaknya pada usia 12-14 tahun. Sedangkan otak laki-laki-laki mencapai puncak pertumbuhannya pada usia 14-16 tahun.

PRISTAC
Berdasarkan data sejarah dan fakta perkembangan otak manusia tersebut, bisa disimpulkan, bahwa rentang usia sekitar 12-18 tahun (jenjang SMP-SMA) adalah masa keemasan untuk menanamkan adab dan pemikiran Islam. Sejarah pendidikan di Indonesia juga menunjukkan hal yang sama. Pada tahun 1906, di Jakarta sudah berdiri sebuah sekolah (Jamiat al-Khair) setingkat SMA yang guru-gurunya adalah ulama-ulama dari Tunisia, Sudan, Saudi dan lain-lain.
Menurut Pak Natsir, ketika duduk di bangku SMA Belanda di Bandung, ia diwajibkan membaca minimal 36 buku untuk satu mata pelajaran. Dulu, lulusan Mu’allimin dari berbagai lembaga dan organisasi Islam sudah disiapkan untuk menjadi manusia dewasa yang mampu terjun ke tengah masyarakat sebagai guru yang baik.
Jadi, itu semua menunjukkan, bahwa “masa SMA” (sekitar 15-18 tahun) bukanlah sekedar masa persiapan untuk memasuki jenjang Pendidikan Tinggi. Keliru, jika ada pemikiran, mereka masih anak-anak sehingga jangan diberikan beban pendidikan dengan muatan pemikiran yang serius. Karena “usia SMA” adalah usia dewasa, maka para siswa harus dididik sebagai orang dewasa, dan disiapkan menjadi pejuang, untuk terjun ke tengah masyarakat atau menjadi pemimpin saat kuliah di Perguruan Tinggi.
Untuk itulah, beberapa bulan lalu, bersama sejumlah pakar pemikiran Islam di INSISTS dan praktisi pendidikan di Pesantren Shoul Lin al-Islami, kami mendirikan sebuah program pendidikan bernama “Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization (PRISTAC)”.
PRISTAC adalah program pendidikan pesantren (non-formal) setingkat SMA, yang dirancang untuk melahirkan kader-kader intelektual muslim yang beradab jiwa-raga, cerdas, mandiri, cinta ilmu dan semangat ber-amar ma’ruf nahi munkar untuk kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia.
PRISTAC dipimpin langsung Ust. Alwi Alatas, kandidat doktor ilmu sejarah di International Islamic University Malaysia, penulis produktif,  dan praktisi pendidikan yang berpengalaman. PRISTAC juga menyiapkan guru-guru yang terdiri atas para doktor dan pakar pemikiran dan peradaban Islam. Bahasa pengantar digunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab sebagai bahasa riset. Selama satu tahun, para santri diwajibkan mengikuti matrikulasi bahasa Inggris, bahasa Arab, dan adab. (lihat, www.ponpes-attaqwa.com).
Merujuk QS Luqman ayat 17, maka jelas kita diperintahkan Allah SWT agar menyiapkan anak-anak kita menjadi pejuang penegak kebenaran.  “Wahai Anakku, dirikanlah shalat, dan berjuanglah menegakkan kebaikan dan mencegah kemunkaran, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu…” (QS Luqman: 17). QS al-Anfal:65-66 menjelaskan, bahwa Nabi Muhammad saw diperintah menyiapkan orang-orang mukmin agar memiliki kekuatan jauh lebih hebat dari orang-orang kafir. QS Ali Imran:110 pun menegaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang tugasnya melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Begitu pentingnya kewajiban amar ma’ruf nahi munkar itu, sampai Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin menyebutkan, bahwa aktivitas amar ma’ruf nahi munkar adalah aktivitas yang menentukan hidup dan matinya umat Islam. Karena itu, jika umat Islam kalah dalam berbagai bidang kehidupan, maka patut dilakukan evaluasi yang serius kondisi pendidikan kita. Apakah sekolah, keluarga, pesantren, masjid, majelis ta’lim, dan juga Perguruan Tinggi Islam benar-benar serius menyiapkan peserta didiknya untuk menjadi pejuang amar ma’ruf nahi munkar?
Kita ingat pula, bahwa sejak tahun 1977, dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Kota Mekkah, “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a good man… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”.  Teori pendidikan Prof. Naquib al-Attas yang fenomenal adalah bahwa krisis multidimensi yang diderita oleh umat Islam saat ini adalah berakar pada “loss of adab” (hilang adab).
Teori Prof. al-Attas itu mempunyai rujukan yang kuat dalam al-Quran, hadits Nabi, dan tradisi pendidikan para ulama salaf.  Dalam Tafsir Ibn Katsir, disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a. menjelaskan makna QS at-Tahrim:6: “Didiklah keluargamu agar menjadi manusia beradab dan berilmu.”  Sabda Nabi saw:  “Akrimū aulādakum, wa-ahsinū adabahum.” (Muliakanlah anak-anakmu dan  perbaikilah adab mereka). (HR Ibn Majah). 
Imam asy-Syafii rahimahullah,  pernah ditanya, “Bagaimana usaha Tuan dalam mencari adab?” Sang Imam menjawab, ”Aku senantiasa mencarinya laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.” (Kitab Adab al- ‘Ālim wal-Muta’allim,  karya KH Hasyim Asy’ari).
Untuk menanamkan adab dalam diri santri, pada umur 10-14 tahun, para santri Pesantren at-Taqwa (Shoul Lin al-Islami) Depok, telah diajarkan kitab-kitab adab berbahasa Arab Melayu seperti Kitab Adabul Insan, Risalah Dua Ilmu, dan Gurindam 12. Mereka juga diajar kitab adab berbahasa Arab, seperti Ayyuhal Walad dan Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali. Bahkan, pada Oktober 2016, para santri Shoul-Lin al-Islami tingkat SMP dikirim ke Jawa Timur untuk mengkhatamkan kitab Adab al- ‘Ālim wal-Muta’allim.
Dalam pembinaan badan, setiap hari mereka berlatih silat, pagi dan sore.  Itu semua dilakukan, agar ketika memasuki jenjang SMA, mereka sudah memiliki adab yang baik; mereka sudah beradab jiwa dan raga; mereka sudah terbangun jiwa dan raganya; dan sudah memiliki sikap cinta ilmu. Alhamdulillah, kami bersyukur kepada Allah, bahwa program pendidikan yang singkat itu telah menampakkan hasil yang cukup baik. Tentu saja itu semua juga dipengaruhi oleh faktor kesungguhan dan keikhlasan para guru dan dukungan orang tua.
Akhirul Kalam, untuk menunaikan amanah kita sebagai orang tua, jangan sampai kita menyia-nyiakan “usia SMP dan SMA”, dimana anak-anak sebagian besar waktunya digunakan hanya untuk latihan menjawab soal-soal ujian.  Jangan sampai mereka tidak dilatih untuk menjadi manusia beradab. Mereka juga harus dilatih menjawab soal-soal kehidupan; dikenalkan secara serius siapa Allah, siapa dirinya, dan hakikat dunia serta hakikat kehidupan akhirat.
Kita simak, ungkapan-ungkapan indah gubahan kata Raja Ali Haji dalam Gurindam 12, yang berisikan ajaran-ajaran adab:
//Barang siapa tiada memegang agama/sekali-sekali tiada boleh dibilangkan
nama//barangsiapa mengenal yang empat/maka yaitulah orang yang
makrifat//barangsiapa mengenal Allah/suruh dan tegahnya tiada ia
menyalah//barangsiapa mengenal diri/maka telah mengenal Tuhan yang
bahri//barangsiapa mengenal dunia/tahulah ia barang yang terperdaya//barangsiapa
mengenal akhirat/tahulah ia dunia mudharat//(fasal 1)
//Jika hendak mengenal orang berbangsa/lihat kepada budi dan bahasa//jika hendak mengenal orang yang berbahagia/sangat memeliharakan yang sia-sia//jika hendak mengenal orang mulia/lihatlah kepada kelakuan dia//jika hendak mengenal orang yang berilmu/bertanya dan belajar tiadalah jemu//jika hendak mengenal orang yang berakal/di dalam dunia mengambil bekal//jika hendak mengenal orang yang baik perangai/lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai// (fasal 5).

Itulah sebagian contoh indahnya ajaran adab dalam Kitab klasik Gurindam 12 karya Raja Ali Haji yang ditulis huruf Arab Melayu. Sayang, jika khazanah yang begitu indah, tidak diajarkan di rumah dan sekolah-sekolah kita. Pendidikan kita harus dirancang untuk melahirkan manusia-manusia yang adil dan beradab. Ketika lulus jenjang SMA, mereka telah siap menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, masyarakatnya, dan bangsanya. Mereka siap terjun sebagai pendidik, sekaligus siap menjadi pemimpin ketika melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi.
Jadi, jangan sia-siakan “masa SMA”! Semoga Allah meridhai langkah kita. Amin.*/Bandung, 27 November 2016
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

Sumber: https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2016/11/27/106366/jangan-sia-siakan-masa-sma.html


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Kehadiran Alwi Alatas, sebagai seorang Doktor Ilmu Sejarah diharapkan akan memperkuat usaha perjuangan ‘meluruskan sejarah’ di Indonesia
Oleh: Dr. Adian Husaini

PADA  hari Selasa, 30 Mei 2017, bertepatan dengan 4 Ramadhan 1438, Mudir PRISTAC Ponpes at-Taqwa Depok, Alwi Alatas meraih gelar doktor dalam bidang Ilmu  Sejarah di International Islamic University Malaysia (IIUM). Alwi berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul: ECONOMY OF THE PRIBUMI IN LATE COLONIAL JAVA 1900-1942: CONTINUITY AND CHANGE IN PRIANGAN.
Selama ini, Alwi Alatas dikenal sebagai guru, sejarawan, penulis buku, dan juga Mudir/Direktur PRISTAC (Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization). PRISTAC adalah lembaga pendidikan non-formal pesantren setaraf SMA yang berada dalam naungan Pesantren at-Taqwa Depok. (http://www.ponpes-attaqwa.com)
Ada pun tentang disertasinya, menurut Alwi Alatas, isinya berkenaan dengan aktivitas ekonomi masyarakat pribumi di kawasan Priangan di Jawa Barat yang meliputi daerah Bandung, Garut, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, dan juga Sukabumi serta Cianjur pada akhir era kolonial Belanda. Pada periode yang diteliti ini, yaitu tahun 1900 hingga 1942, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan satu kebijakan baru, yaitu Politik Etis, yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat pribumi yang pada masa-masa sebelumnya telah mengalami kemerosotan yang hebat disebabkan kebijakan kolonial yang eksploitatif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk  “mengkaji kebijakan ekonomi pemerintah kolonial di Priangan antara tahun 1900-1942 serta dampaknya bagi masyarakat pribumi”. Selain itu, studi ini juga “menjelaskan aktivitas ekonomi masyarakat pribumi di Priangan dalam bidang pertanian dan di luar pertanian serta pola perubahannya selama periode tersebut”.
Disertasi setebal 311 halaman ini dibagi dalam tujuh bab dengan proposal penelitian pada bab pertama, diikuti dengan ekonomi Pribumi di Priangan sebelum abad ke-20 pada bab kedua, dan pemaparan tentang kebijakan Politik Etis tahun 1900-1942 pada bab ketiga. Tiga bab berikutnya menjelaskan tentang ekonomi Pribumi di Priangan masing-masing di bidang pertanian, industri, dan kewirausahaan. Bab penutup merupakan kesimpulan dari penelitian ini.
Yang bertindak sebagai penguji (examiner) atas disertasi ini adalah Prof. Dr. Wan Kamal Mujani dari Department of Arabic Studies and Islamic Civilization, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Prof. dr. Saiyid Zaheer Husain Jafri dari Department of History, University of Delhi, India. Keduanya merupakan external examiners, serta seorang internal examiner, yaitu Prof. Dr. Arshad Islam dari Department of History and Civilization, IIUM. Pada sidang disertasi, hanya internal examiner yang dapat hadir, sementara dua orang external examiners tidak dapat hadir, tetapi masing-masing memberikan evaluasinya secara tertulis.
Sidang disertasi alwi Alatas dipimpin oleh Prof. Dr. Ismaiel Hassanein Ahmed Mohamed dari Kulliyah of Education, IIUM, dan dihadiri oleh Dr. Elmira Akhmetova dari Department History and Civilization, Asst. Prof. Dr. Wan Suhana Wan Sulong selaku pembimbing (supervisor), seorang sekretaris akademik, serta Prof. Arshad Islam sebagai internal examiner. Sidang dimulai pukul 14.30 waktu Malaysia dan berjalan selama kurang lebih satu jam.
Penelitian ini memaparkan bahwa pada era kolonial, khususnya di abad ke-19, telah terjadi eksploitasi ekonomi yang menyebabkan kemunduran serius pada tingkat kemakmuran masyarakat. Hal ini mendorong pemerintah kolonial untuk mengeluarkan kebijakan baru, yaitu Politik Etis, untuk memperbaiki tingkat ekonomi masyarakat pribumi. Kebijakan ini secara umum memang membantu meningkatkan ekonomi masyarakat di negeri jajahan, termasuk di Priangan, tetapi ada banyak data yang menunjukkan tentang keengganan atau kekurangseriusan pemerintah kolonial dalam menjalankan kebijakan ini. Perbaikan ekonomi tersebut pada akhirnya tidak sedikitpun mengangkat kedudukan masyarakat pribumi ke tingkat yang sama dengan orang-orang Eropa, tetapi hanya meningkatkan daya beli mereka yang membuat orang-orang Belanda dan Eropa dapat memasarkan produk-produk mereka dengan lebih baik kepada masyarakat pribumi.
Karena itu Harry J. Benda dalam Continuity & Change in Southeast Asia menyebut kebijakan ini sebagai “setengah hati” (half-hearted). Begitu pula Adrian Vickers dalam A History of Modern Indonesia menggarisbawahi bahwa pada periode Politik Etis “basis bagi negeri koloni tetap keuntungan” (the basis of the colony was still profit) dan “kaum liberal memasukkan ‘kecintaan pada orang-orang Jawa’ di dalam laporan-laporan publikasi mereka, tetapi tidak membiarkan hal itu menyentuh kantong-kantong mereka” (the Liberals entered “Love for the Javanese” in their published accounts, but did no let it touch their pockets). Ini terlepas dari kenyataan bahwa mungkin saja ada beberapa pejabat Belanda yang tulus dalam usahanya membantu kaum pribumi.
Priangan pada periode yang diteliti ini mengalami beberapa perubahan yang cukup penting di bidang ekonomi. Laporan-laporan memperlihatkan adanya peningkatan kemakmuran di tengah masyarakat pribumi di Priangan. Masyarakat pribumi yang sebelumnya sangat didominasi oleh pertanian dan perkebunan dalam mata pencaharian mereka, kini juga semakin bergeser ke bidang-bidang non-pertanian, walaupun persentasenya masih sangat kecil dibandingkan bidang pertanian.
Semakin banyak masyarakat pribumi yang bekerja di sektor industri dan keahlian seperti tekstil dan batik, pembuatan genteng dan batu bata, menjadi mandor, juru masak, dan lain sebagainya. Bahkan mulai bermunculan pengusaha-pengusaha pribumi yang mengembangkan usaha di bidang keuangan, koperasi perkebunan, tekstil, bahkan dalam hal impor. Usaha-usaha ini biasanya dijalankan dalam bentuk koperasi yang memang mulai berkembang di Indonesia pada dekade kedua abad ke-20.
Di antara contoh usaha yang diterangkan dalam disertasi ini antara lain koperasi teh Madoe Tawon di Sukabumi, bank koperasi Himpoenan Soedara di Bandung, dan beberapa perusahaan tekstil di Majalaya. Usaha-usaha ini mampu bertahan hingga ke akhir era kolonial Belanda, bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat baik. Koperasi petani teh Madoe Tawon, sebagai contoh, berdiri pada tahun 1911 dengan bantuan pejabat kolonial. Modal awalnya sebesar f 3.000, yang baru terhimpun dari para anggotanya pada tahun 1916, di samping modal berupa lahan senilai kurang lebih f 2.000. Koperasi ini mampu berkembang sehingga beberapa tahun kemudian dianggap sudah mampu mandiri oleh pemerintah kolonial. Madoe Tawon berhasil mengikat kontrak penjualan daun teh dengan sebuah perusahaan teh Eropa. Pada tahun 1923, koperasi ini memiliki total aset dan dana cadangan senilai total f 20.570, dan dividen yang telah dibagikannya kepada para anggotanya hingga ke tahun tersebut adalah sebesar f. 25.887. Walaupun sempat terpukul depresi ekonomi pada awal 1930-an, koperasi ini mampu bertahan dan kemudian berkembang kembali, hingga pada akhir era kolonial Belanda bisnisnya melebar ke bidang-bidang perkebunan selain teh.
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat pribumi memiliki kemampuan untuk berkembang secara ekonomi sekiranya mereka diberi peluang dan kesempatan yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Namun, penjajahan yang panjang telah menghilangkan kesempatan ini dan menjadikan masyarakat pribumi tak lebih dari obyek eksploitasi ekonomi. Bahkan ketika pemerintah kolonial bermaksud membayar hutang budinya lewat Politik Etis, hal ini tidak dilakukan dengan sepenuh hati.
Dalam kesimpulan penelitiannya Alwi menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah kolonial pada periode ini memang secara umum telah membantu meningkatkan taraf ekonomi masyarakat pribumi, tetapi tetap tidak ada perubahan pada struktur ekonomi yang ada. Artinya, masyarakat pribumi tetap berada di level terendah dalam struktur ekonomi di Hindia Belanda, di mana orang-orang Belanda dan Eropa menempati posisi teratas dan orang-orang China dan Timur Asing berada di posisi menengah. Hal ini memperlihatkan secara jelas bahwa pemerintah kolonial tidak membantu dengan sungguh-sungguh upaya perbaikan ekonomi masyarakat jajahan dan bantuan itu tidak diberikan melainkan untuk mengembalikan keuntungan terbesarnya kepada bangsa penjajah sendiri.
Presentasi disertasi Alwi Alatas dilanjutkan dengan diskusi singkat dengan para akademisi yang menghadiri sidang disertasi. Para penguji memberikan beberapa saran, baik secara lisan maupun tulisan, terkait sedikit editing bahasa dan beberapa tambahan untuk penyempurnaan disertasi. Walhasil, Alhamdulillah, Alwi Alatas berhasil meraih gelar doktor dalam Ilmu Sejarah. Kita doakan, semoga ilmu dan gelarnya bermanfaat.
Kehadiran Alwi Alatas, sebagai seorang Doktor Ilmu Sejarah diharapkan akan memperkuat usaha perjuangan ‘meluruskan sejarah’ di Indonesia. Sebelumnya, Dr. Tiar Anwar Bahtiar juga telah lulus doktor ilmu sejarah dari Universitas Indonesia, dengan disertasi tentang sejarah pergulatan pemikiran Islam melawan liberalisme di Indonesia.  Kita berharap, setelah Dr. Tiar dan Dr. Alwi, akan bermunculan para sejarawan muslim yang gigih berjihad dalam bidang ilmu sejarah.
Sebab, ilmu sejarah memegang peranan yang penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau peradaban. Seperti ditulis oleh Cendekiawan Muslim, Muhammad Asad dalam bukunya, Islam at the Cross Roads:  “No civilization can prosper – or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past…”  Karena itu, bisa dipahami, jika untuk mengebiri kebangkitan peradaban Islam, maka umat Islam diajarkan sejarah yang salah. Pelajaran sejarah tidak membuat banyak pelajar muslim Indonesia bangga dengan sejarahnya dan bahkan mereka tidak mengenal para ulama dan pejuang Islam Indonesia.
Ketika bicara tentang sejarah pendidikan Indonesia, anak-anak sekolah tidak mengagumi KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, dan lain-lain, sebagai tokoh pendidikan nasional.  Mungkin banyak anak-anak muslim di Jakarta dan sekitarnya saat ini yang tidak mengenal dan mengagumi Habib Usman, KH Abdullah Syafii, KH Noer Ali, dan sebagainya.  Jika kenal saja tidak, bagaimana mereka akan mengagumi dan menjadikan para ulama itu sebagai panutan?
Karena itulah, untuk mewujudkan kebangkitan umat Islam dan bangsa Indonesia, kita menunggu dan berharap kiprah Dr. Alwi Alatas, Dr. Tiar Anwar Bahtiar, dan para sejarawan muslim lainnya. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan kekuatan kepada para ilmuwan pejuang tersebut. Amin.*
Penulis guru Pesantren at-Taqwa Depok-Jawa Barat.  Radio dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Sumber: https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2017/06/07/118137/teliti-ekonomi-pribumi-mudir-pristac-raih-gelar-doktor-sejarah.html


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Random Ayat

Asmaul Husna

Asmaul Husna

Tanggal Hijriah

Jadwal Shalat

Ramadhan 1439 H

VIVA.co.id

Berita – Eramuslim

Home

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang anak lelaki yang masih dan terus belajar untuk menjadi ayah yang amanah, suami yang mengayomi dan guru yang memberi, serta al-faqir ilalloh yang berharap bisa memberi manfaat untuk tegaknya agama dan bersatunya ummat