Jika umat Islam kalah dalam berbagai bidang kehidupan, maka patut dilakukan evaluasi yang serius kondisi pendidikan kita
Oleh:
Dr. Adian Husaini
“MASA SMA” biasanya berkisar usia 15-18 tahun. Di
Indonesia, program pendidikan masa SMA secara umum dibagi menjadi dua.
Pertama, jalur SMU yang menyiapkan siswanya untuk memasuki jenjang
Perguruan Tinggi. Kedua, jalur SMK, yang menyiapkan siswanya untuk siap
terjun ke dunia kerja. Di era 1980-an, pemerintah pernah memiliki
program Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP), yang
menggabungkan dua jenis program itu dalam satu sekolah. Saya termasuk
salah satu lulusan SMPP, tahun 1984.
Di tahun 1981-1984, atas nasehat orang tua, saya menjalani dua
program pendidikan. Di SMPPN Bojonegoro dan di Pesantren al-Rosyid
Kendal Bojonegoro. Dari ratusan siswa SMPPN Bojonegoro, hanya dua orang
yang nyantri di Pesantren al-Rosyid. Di Pesantren inilah saya sempat
belajar dan menamatkan sejumlah “Kitab Kuning”, seperti Matan al-Ajurrumiyah, Ta’limul Muta’allim, al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, Uqudul-Lujain, Riyadhus Shalihin, dan sebagainya.
Disamping itu, saya masih rutin membaca Majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Buya Hamka. Sejumlah buku sempat mempengaruhi pola pikir saya, seperti buku Tasauf Modern karya Buya Hamka, Iman Jalan Menuju Sukses karya KH Najih Ahjat, al-Quran Dasar Tanya Jawab Ilmiah, Biologi Iman, dan
sebagainya. Di pesantren ini pula saya mendapat kesempatan belajar
hidup mandiri; dilatih hidup tanpa listrik, tidur tanpa kasur dan
bantal, serta memasak dan mencuci sendiri. Uang Rp 5 ribu, cukup untuk
sebulan.
Lulus dari jenjang SMPP, alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan
kuliah tanpa tes ke IPB (Jalur Perintis II), dan ke Jurusuan Pendidikan
Fisika IKIP Malang, melalui jalur PMDK. Hasil istikharah, saya
memutuskan kuliah di IPB. Itu juga amanah sekolah, karena saya
satu-satunya wakil SMPP untuk kuliah di IPB. Seperti melanjutkan
pendidikan pesantren, di Kota Bogor ini pula, saya berkesempatan belajar
Islam kepada banyak ulama terkenal, seperti KH Abdullah bin Nuh, KH
Tubagus Hasan Basri, KH Sholeh Iskandar, KH Didin Hafidhuddin, Ustad
Abdurrahman al-Baghdadi, dan sebagainya.
Pengalaman belajar di SMA dan Pesantren itu terjadi lebih dari 30
tahun lalu. Dunia kini sudah banyak berubah. Perkembangan pesat dalam
dunia komunikasi, mau tidak mau juga memaksa dunia pendidikan ikut
berubah. Satu yang belum banyak berubah adalah “orientasi lulusan SMA”,
masih terarah kepada “Perguruan Tinggi Favorit”. Bahwa, tujuan utama
belajar di bangku SMA adalah menyiapkan diri untuk bisa kuliah di
Perguruan Tinggi favorit.
Di bangku SMA pada umumnya, biasanya para siswa tidak diberikan
kajian-kajian pemikiran yang serius tentang peradaban, tentang sejarah,
tentang pemikiran Islam, tentang politik, ekonomi, sosial budaya, dan
sebagainya. Sebab, para siswa SMA dianggap masih “anak-anak”. Mereka
dianggap belum dewasa. Dalam istilah lain, para siswa SMA dimasukkan ke
dalam ketegori “Remaja”.
Lazimnya, dalam psikologi, remaja
(adolensence) dianggap
periode peralihan anak menuju dewasa. Ia tidak mempunyai tempat yang
jelas. Anak bukan, dewasa belum. Masa remaja berkisar pada usia 12-21
tahun bagi wanita dan 13-22 pria. (
http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/).
Konon pula, menurut pakar Psikologi Perkembangan seperti Hurlock
(1990), dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40
tahun. Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda
(young) ialah
mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi
perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi,
baik transisi secara fisik
(physically trantition) transisi secara intelektual
(cognitive trantition), serta transisi peran sosial
(social role trantition).
Tampak, bahwa konsep remaja itu didasarkan pada penelitian empiris
yang sangat tergantung kepada objek penelitian. Padahal, kondisi objek
penelitian itu sendiri, ditentukan oleh proses pendidikan yang
diterimanya. Jika objek yang diteliti adalah komunitas orang bingung
(golongan bingung/golbin), maka kesimpulan yang diraih pun kesimpulan
bingung. Coba, yang diteliti adalah anak-anak muda yang sudah mantap
iman dan pemikirannya, tentu definisi remaja pun akan berbeda.
Sudah dewasa
Pengkategorian “masa SMA” sebagai masa “remaja” dan “belum dewasa”
kini mulai dipertanyakan. Sebab, begitu memasuki umur 15 tahun,
manusia sudah tergolong dewasa. Adriano Rusfi adalah salah satu
psikolog yang dikenal gencar mengkritisi kategorisasi remaja bagi usia
SMP-SMA. Beberapa kali saya mendengar paparan beliau. Menurutnya,
literatur psikologi abad ke-19 tak mengenal masa remaja (adolescence), karena masa remaja adalah produk abad ke-20 dimana telah lahir generasi dewasa fisik (baligh) namun tak dewasa mental (aqil).
Dengan “legalitas remaja”, seolah-olah anak dibiarkan berlama-lama
menjadi anak-anak. Maka, lahirlah generasi yang matang syahwatnya,
tetapi tanpa kematangan akal. Karena masih remaja, dan dianggap belum
dewasa, maka usia remaja dianggap belum matang, dan masih belum bisa
menentukan sikap hidupnya.
Pandangan Adriano Rusfi ini menarik. Sebab, memang tidak jarang
muncul kerancuan. Manusia berusia 17 tahun, sudah mampu memperkosa dan
membunuh, tetapi dikategorikan status hukumnya sebagai “anak-anak”.
Dalam Islam, jika seorang sudah memasuki tahap ‘baligh’, maka ia
sesungguhnya telah dewasa. Ketika itulah seharusnya ia dididik sebagai
manusia dewasa. Tentu saja sesuai dengan kondisi usianya.
Dalam UU Perkawinan No 1/1974, batas minimal usia menikah bagi wanita
adalah 16 tahun. Batas umur itu mengindikasikan, sepatutnya seorang
wanita telah disiapkan jiwa raganya untuk menjadi dewasa. Pendidikan
harus mendewasakan dan memandirikan; bukan justru memaksa anak
berlama-lama menjadi anak-anak.
Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Umar r.a. disebutkan, bahwa
Rasulullah saw memanggil Abdullah bin Umar untuk hadir ke hadapan beliau
menjelang Perang Uhud. Ketika itu usia Abdullah 14 tahun. Dan Rasul
tidak mengijinkannya ikut berperang. Kemudian Rasulullah saw kembali
memanggil Abdullah hadir ke hadapan beliau menjelang Perang Khandaq.
Usia Abdullah bin Umar ketika itu 15 tahun. Rasulullah saw lalu
mengijinkan Abdullah berperang.” Nafi’ berkata, “Aku datang kepada Umar
bin Abdul Aziz yang merupakan Khalifah pada waktu itu dan menyampaikan
riwayat tersebut. Khalifah berkata, “Usia ini (15 tahun) adalah batas
antara anak-anak dan dewasa.” Dan beliau perintahkan kepada para
gubernur untuk memberikan tunjangan kepada siapa saja yang telah
mencapai usia 15 tahun.” (HR Bukhari).
Jadi, berdasarkan pada hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam
tersebut, dan juga berbagai fakta sejarah pendidikan, bisa dipahami,
bahwa usia 15 tahun adalah masa anak-anak memasuki masa dewasa. Jangan
sampai dalam masa usia 15 tahun, para siswa tidak disiapkan jiwa dan
raganya agar benar-benar menjadi manusia dewasa yang sejati. Rasulullah
saw telah memberikan teladan, bagaimana mendidik anak-anak umur belasan
tahun menjadi matang di usia yang sangat muda.
Kisah yang masyhur menyebutkan, bahwa Usamah bin Zaid, diangkat oleh
Nabi saw menjadi Panglima Perang di usia 18 tahun. Dalam sebuah
peperangan melawan Romawi, Usamah memimpin pasukan yang di dalamnya ada
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., Umar bin Khathab r.a., dan lain-lain. Usamah
mulai diijinkan ikut perang pada usia 15 tahun.
Abdullah bin Umar dan al-Barra’ saat berumur 13 tahun belum diijinkan
Nabi untuk ikut perang, meskipun mereka mengajukan diri. Diantara
sahabat Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang masuk Islam di
usia yang sangat muda adalah Ali bin Abi Thalib (10 tahun), Thalhah bin
Ubaidillah (14 tahun), Zubair bin Awwam (16 tahun), Saad bin Abi Waqqash
(17 tahun), Said bin zaid 15 tahun, dan sebagainya. (
http://risalahislamterkini.blogspot.co.id/2015/06/anak-anak-muda-di-sekitar-rasulullah-saw.html).
Di Indonesia, pun banyak dijumpai tokoh-tokoh yang sudah matang jiwa
dan raganya di usia belasan tahun. Menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi,
ayah beliau, yakni KH Imam Zarkasyi mendirikan pesantren Gontor di usia
16 tahun. Haji Agus Salim diangkat sebagai Konsul Hindia Belanda di
Jeddah pada usia 20 tahun. Mohammad Natsir sudah berdebat dengan pendeta
Belanda saat duduk di bangku SMA. Lulus SMA, Pak Natsir terjun langsung
menjadi guru dan mendirikan sekolah sendiri (Pendis:Pendidikan Islam),
tahun 1932.
Sejumlah tokoh PKI pun mulai berkiprah di usia sangat muda.
Contohnya, Semaoen. Pada usia sekitar 18 tahun, ia sudah memimpin
Sarekat Islam (SI) Semarang bersama rekannya, Darsono. Akhirnya, Semaoen
keluar dari SI dan mendirikan Persyarekatan Komunis India (PKI) yang
kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia/PKI. (lihat Suradi; Haji Agus
Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Pustaka Sinar Harapan,
1997).
https://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/22/kaum-muda-penggerak-revolusi-indonesia/
Dr. Erma Pawitasari, dalam sebuah makalahnya berjudul “Pendidikan Khusus Perempuan: Antara Kesetaraan Gender dan Islam”, mengungkap
hasil penelitian Frances E. Jensen, seorang ahli neurologi, yang
menemukan bahwa pertumbuhan otak perempuan mencapai puncaknya pada usia
12-14 tahun. Sedangkan otak laki-laki-laki mencapai puncak
pertumbuhannya pada usia 14-16 tahun.
PRISTAC
Berdasarkan data sejarah dan fakta perkembangan otak manusia
tersebut, bisa disimpulkan, bahwa rentang usia sekitar 12-18 tahun
(jenjang SMP-SMA) adalah masa keemasan untuk menanamkan adab dan
pemikiran Islam. Sejarah pendidikan di Indonesia juga menunjukkan hal
yang sama. Pada tahun 1906, di Jakarta sudah berdiri sebuah sekolah
(Jamiat al-Khair) setingkat SMA yang guru-gurunya adalah ulama-ulama
dari Tunisia, Sudan, Saudi dan lain-lain.
Menurut Pak Natsir, ketika duduk di bangku SMA Belanda di Bandung, ia
diwajibkan membaca minimal 36 buku untuk satu mata pelajaran. Dulu,
lulusan Mu’allimin dari berbagai lembaga dan organisasi Islam sudah
disiapkan untuk menjadi manusia dewasa yang mampu terjun ke tengah
masyarakat sebagai guru yang baik.
Jadi, itu semua menunjukkan, bahwa “masa SMA” (sekitar 15-18 tahun)
bukanlah sekedar masa persiapan untuk memasuki jenjang Pendidikan
Tinggi. Keliru, jika ada pemikiran, mereka masih anak-anak sehingga
jangan diberikan beban pendidikan dengan muatan pemikiran yang serius.
Karena “usia SMA” adalah usia dewasa, maka para siswa harus dididik
sebagai orang dewasa, dan disiapkan menjadi pejuang, untuk terjun ke
tengah masyarakat atau menjadi pemimpin saat kuliah di Perguruan Tinggi.
Untuk itulah, beberapa bulan lalu, bersama sejumlah pakar pemikiran
Islam di INSISTS dan praktisi pendidikan di Pesantren Shoul Lin
al-Islami, kami mendirikan sebuah program pendidikan bernama “Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization (PRISTAC)”.
PRISTAC adalah program pendidikan pesantren (non-formal) setingkat
SMA, yang dirancang untuk melahirkan kader-kader intelektual muslim yang
beradab jiwa-raga, cerdas, mandiri, cinta ilmu dan semangat ber-amar
ma’ruf nahi munkar untuk kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia.
PRISTAC dipimpin langsung Ust. Alwi Alatas, kandidat doktor ilmu
sejarah di International Islamic University Malaysia, penulis
produktif, dan praktisi pendidikan yang berpengalaman. PRISTAC juga
menyiapkan guru-guru yang terdiri atas para doktor dan pakar pemikiran
dan peradaban Islam. Bahasa pengantar digunakan bahasa Inggris dan
bahasa Arab sebagai bahasa riset. Selama satu tahun, para santri
diwajibkan mengikuti matrikulasi bahasa Inggris, bahasa Arab, dan adab.
(lihat,
www.ponpes-attaqwa.com).
Merujuk QS Luqman ayat 17, maka jelas kita diperintahkan Allah SWT
agar menyiapkan anak-anak kita menjadi pejuang penegak kebenaran. “Wahai
Anakku, dirikanlah shalat, dan berjuanglah menegakkan kebaikan dan
mencegah kemunkaran, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu…” (QS
Luqman: 17). QS al-Anfal:65-66 menjelaskan, bahwa Nabi Muhammad saw
diperintah menyiapkan orang-orang mukmin agar memiliki kekuatan jauh
lebih hebat dari orang-orang kafir. QS Ali Imran:110 pun menegaskan
bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang tugasnya melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar.
Begitu pentingnya kewajiban amar ma’ruf nahi munkar itu, sampai Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin menyebutkan,
bahwa aktivitas amar ma’ruf nahi munkar adalah aktivitas yang
menentukan hidup dan matinya umat Islam. Karena itu, jika umat Islam
kalah dalam berbagai bidang kehidupan, maka patut dilakukan evaluasi
yang serius kondisi pendidikan kita. Apakah sekolah, keluarga,
pesantren, masjid, majelis ta’lim, dan juga Perguruan Tinggi Islam
benar-benar serius menyiapkan peserta didiknya untuk menjadi pejuang
amar ma’ruf nahi munkar?
Kita ingat pula, bahwa sejak tahun 1977, dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Kota Mekkah, “The
purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or
justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam
is therefore to produce a good man… the fundamental element inherent in
the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”. Teori
pendidikan Prof. Naquib al-Attas yang fenomenal adalah bahwa krisis
multidimensi yang diderita oleh umat Islam saat ini adalah berakar pada
“loss of adab” (hilang adab).
Teori Prof. al-Attas itu mempunyai rujukan yang kuat dalam al-Quran,
hadits Nabi, dan tradisi pendidikan para ulama salaf. Dalam Tafsir Ibn
Katsir, disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a. menjelaskan makna QS
at-Tahrim:6: “Didiklah keluargamu agar menjadi manusia beradab dan berilmu.” Sabda Nabi saw: “Akrimū aulādakum, wa-ahsinū adabahum.” (Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka). (HR Ibn Majah).
Imam asy-Syafii rahimahullah, pernah ditanya, “Bagaimana
usaha Tuan dalam mencari adab?” Sang Imam menjawab, ”Aku senantiasa
mencarinya laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang
hilang.” (Kitab Adab al- ‘Ālim wal-Muta’allim, karya KH Hasyim Asy’ari).
Untuk menanamkan adab dalam diri santri, pada umur 10-14 tahun, para
santri Pesantren at-Taqwa (Shoul Lin al-Islami) Depok, telah diajarkan
kitab-kitab adab berbahasa Arab Melayu seperti Kitab Adabul Insan, Risalah Dua Ilmu, dan Gurindam 12. Mereka juga diajar kitab adab berbahasa Arab, seperti Ayyuhal Walad dan Bidayatul Hidayah
karya Imam al-Ghazali. Bahkan, pada Oktober 2016, para santri Shoul-Lin
al-Islami tingkat SMP dikirim ke Jawa Timur untuk mengkhatamkan kitab Adab al- ‘Ālim wal-Muta’allim.
Dalam pembinaan badan, setiap hari mereka berlatih silat, pagi dan
sore. Itu semua dilakukan, agar ketika memasuki jenjang SMA, mereka
sudah memiliki adab yang baik; mereka sudah beradab jiwa dan raga;
mereka sudah terbangun jiwa dan raganya; dan sudah memiliki sikap cinta
ilmu. Alhamdulillah, kami bersyukur kepada Allah, bahwa program
pendidikan yang singkat itu telah menampakkan hasil yang cukup baik.
Tentu saja itu semua juga dipengaruhi oleh faktor kesungguhan dan
keikhlasan para guru dan dukungan orang tua.
Akhirul Kalam, untuk menunaikan amanah kita sebagai orang tua, jangan
sampai kita menyia-nyiakan “usia SMP dan SMA”, dimana anak-anak
sebagian besar waktunya digunakan hanya untuk latihan menjawab soal-soal
ujian. Jangan sampai mereka tidak dilatih untuk menjadi manusia
beradab. Mereka juga harus dilatih menjawab soal-soal kehidupan;
dikenalkan secara serius siapa Allah, siapa dirinya, dan hakikat dunia
serta hakikat kehidupan akhirat.
Kita simak, ungkapan-ungkapan indah gubahan kata Raja Ali Haji dalam Gurindam 12, yang berisikan ajaran-ajaran adab:
//Barang siapa tiada memegang agama/sekali-sekali tiada boleh dibilangkan
nama//barangsiapa mengenal yang empat/maka yaitulah orang yang
makrifat//barangsiapa mengenal Allah/suruh dan tegahnya tiada ia
menyalah//barangsiapa mengenal diri/maka telah mengenal Tuhan yang
bahri//barangsiapa mengenal dunia/tahulah ia barang yang terperdaya//barangsiapa
mengenal akhirat/tahulah ia dunia mudharat//(fasal 1)
//Jika hendak mengenal orang berbangsa/lihat kepada budi dan
bahasa//jika hendak mengenal orang yang berbahagia/sangat memeliharakan
yang sia-sia//jika hendak mengenal orang mulia/lihatlah kepada kelakuan
dia//jika hendak mengenal orang yang berilmu/bertanya dan belajar
tiadalah jemu//jika hendak mengenal orang yang berakal/di dalam dunia
mengambil bekal//jika hendak mengenal orang yang baik perangai/lihat
pada ketika bercampur dengan orang ramai// (fasal 5).
Itulah sebagian contoh indahnya ajaran adab dalam Kitab klasik
Gurindam 12 karya Raja Ali Haji yang ditulis huruf Arab Melayu. Sayang,
jika khazanah yang begitu indah, tidak diajarkan di rumah dan
sekolah-sekolah kita. Pendidikan kita harus dirancang untuk melahirkan
manusia-manusia yang adil dan beradab. Ketika lulus jenjang SMA, mereka
telah siap menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi dirinya,
keluarganya, masyarakatnya, dan bangsanya. Mereka siap terjun sebagai
pendidik, sekaligus siap menjadi pemimpin ketika melanjutkan kuliah di
Perguruan Tinggi.
Jadi, jangan sia-siakan “masa SMA”! Semoga Allah meridhai langkah kita. Amin.*/Bandung, 27 November 2016
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan
Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil
kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com
Sumber: https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2016/11/27/106366/jangan-sia-siakan-masa-sma.html