Keindahan ajaran Islam: Satu-satunya dan tidak ada lagi selainnya
Oleh: Ahmad Fatoni
Khutbah Pertama
إنّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره, ونعوذبالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا, من يهده الله فلامضل له, ومن يضلل فلا هادي له, وأشهد أن لاإله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون, ياأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا, ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفرلكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما أما بعد
Sidang Jum’at rohimakumulloh,

Tepat sepekan yang lalu, pembantaian ummat Islam di dalam dua Masjid pada kawasan Christchurch, New Zealand masih ramai diperbincangkan dimana-dimana. Baik di negeri yang mayoritas berpenduduk muslim atau non muslim. Banyak yang terluka dan In Syaa Allah Syahid dalam kejadian itu. Kejadian ini sungguh sangat tak disangka. Pada hari yang mulia, hari Jum’at, sayyidul ayyam, penghulunya hari, ummat Islam yang sedang melaksanakan ibadah sholat Jum’at dibantai dengan sadis. Kita sangat sedih dan marah atas kejadian itu. Kita sama-sama berharap semoga pelakunya dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya.

Allah Subhanahu Wa ta’alaa berfirman dalam surat An-Nisaa’ ayat 93:

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَاَعَدَّلَهُ عَذَابًا عَظِيْمًا 

“dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.“dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”.

Kini, telah sepekan berlalu. Tak lama setelah kejadian itu pihak kepolisian New Zealand dengan cepat sudah menangkap Si Pelaku. Yang cukup mengejutkan dari senjata yang disita disitu tertulis banyak coretan yang intinya Si Pelaku tersebut bukanlah orang yang melakukan aksi pembantaian tanpa alas an. Ternyata dia SANGAT PAHAM SEJARAH! Untuk mengetahui tentang ini tidaklah susah, kita bisa cek di gadget kita masing-masing. Ada gambar senjata dan banyak coretan disitu.

Sidang Jum’at rohimakumulloh,

Satu hal yang ingin khatib sampaikan, yaitu dalam video yang disiarkan oleh Si Pelaku pembantaian, disitu terlihat dan terdengar ucapan “Hello brother..!” keluar dari mulut korban sebelum ditembak secara membabi buta oleh pelaku pembantaian.

Sidang Jum’at rohimakumulloh,

Itulah salah satu keindahan ajaran Islam. Islam mengajarkan salam. Mengucapkan, “Assalamu’alaikum” kepada sesama muslim. Salam kedamaian. Salam kesejahteraan. Salam yang bukan basa basi. Tapi, ada doa yang kita minta pada Ilahi Robbi berupa keselamatan, kesejahteraan dan keberkahan untuk orang yang kita berikan ucapan salam itu. Maka, dalam ajaran Islam mengucapkan salam itu hukumnya sunnah dan menjawabnya adalah wajib.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nuur ayat 27:
يَآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَتَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلَى اَهْلِهَاقلىذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
   

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”.

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمْرِ بْنِ العَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَجُلً سَأَلَ رَسُوْلَ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّم: أَيُّ اﻹسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: تُطْعِمُ الطَّعَامَ, وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ (متفق عليه)
“Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash Radhiyallahu’anhuma, sseorang sahabat bertanya kepada Rasulullah , “Bagaimanakah Islam yang baik itu?” Beliau menjawab, “Yaitu kamu memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal maupun yang tidak kamu kenal”. (Muttafaq ‘alaih)
مامن مسلمين يلتقيان فيتصافحان إلا غفر لهما قبل أن يفترقا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah”.  (HR. Abu Daud: 5212, Tirmidzi: 2727,, Ibnu Majah: 3707, Ahmad 4/289)


Demikian khutbah Jum’at yang singkat ini, semoga kita dapat mengambil pelajaran dari setiap kejadian. “Sungguh beruntung orang yang mensucikannya (jiwanya itu) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya” (Qs. Asy-Syams: 9-10)

بارك الله لي ولكم فى القرآن العظيم, ونفعني وإياكم بما فيه من آية وذكر الحكيم, وتقبل الله منا 
ومنكم تلاوته وإنه هو السميع العليم, وأقول قول هذا فستغفر الله العظيم إنه هو الغفور الرحيم

Khutbah Kedua
الحمد لله حمدا كثيرا كما امر. اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له ارغاما لمن جحد و كفر. واشهد ان محمدا عبده ورسوله وحبيبه وخليله سيد الإنس والبشر. اللهم صل وسلم وبارك على محمد و على آله واصحابه وسلم تسليما كثيرا ام بعد, فيا عباد الله اتقوا الله واعلموا ان الله يحب مكارم الأمور ويكره سفاسفها يحب من عباده ان يكونوا في تكميل اسلامه وايمانه وانه لا يهدى القوم الفاسقين. اللهم صل وسلم وبارك على محمد وعلى آل محمد كم صليت وسلمت وباركت على ابراهيم وعلى آل ابراهيم فى العالمين انك حميد مجيد.اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات انك سميع قريب مجيب الدعوات وقاضيي الحاجت. اللهم ربنا لا تزغ قلوبنا بعد اذ هديتنا وهبلنا من لدنك رحمة انك انت الوهاب. ربنا لا تجعل فى قلوبنا غلا للذين امنوا ربنا انك رؤوف رحيم. ربناهبلنا من ازواجنا وذريتنا قرة اعين واجعلنا للمتقينا اماما. ربنا اتنا فى الدنيا حسنة و فى الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. عبد الله! ان الله يأمر بالعدل والإحسان وايتاء ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون فاذكروا الله العظيم يذكركم واشكروا على نعمه يزدكم ولذكر الله اكبر والله يعلم ما تصنعون




إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعـد
قال الله تعالى: اعوذبالله من الشيطان الر جيم

يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَآءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. 
يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا

Sungguh indah untaian kata-kata tentang Tujuan Pendidikan di Indonesia. UU No 20 tahun 2003, tentang Pendidikan Nasional, menyatakan: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi juga menyebutkan, bahwa Pendidikan Tinggi bertujuan: (a). berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; dan seterusnya.

Menyimak tujuan pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi di Indonesia, maka sepatutnya semua pihak – khususnya pemerintah sebagai pelaksana Undang-undang – bertungkus lumus untuk mewujudkannya. Para peserta didik bukan sekedar ‘dipaksa’ untuk lulus ujian nasional – dengan meraih nilai akademik tinggi, tetapi juga ‘dipaksa’ untuk meraih ilmu yang bermanfaat, sehingga pemegang ilmu itu pun menjadi manusia yang bermanfaat.

Kenapa harus dipaksa? Sebab, tugas Undang-undang adalah memaksa. Un dang-undang adalah peraturan yang memuat tentang keharusan dan sanksi bagi pelanggarnya. Sepatutnya, peme rintah sudah menerapkan sistem pen didikan yang memaksa anak-anak didik untuk memahami dan menjalan kan agamanya dengan baik. Sebab, itulah modal menjadi manusia yang baik. Semua itu berawal dari ilmu. Hanya ilmu yang benar dan bermanfaat yang dapat mengantarkan peserta didik untuk menjadi manusia yang baik dan ber manfaat untuk dirinya, keluarganya, masyarakat dan bangsanya. Itulah urgensi ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’).

Ilmu Nafi’
Di dalam sebuah doa Nabi Muham mad SAW berucap: "Allâhumma innî as’aluka ‘ilman nafi‘an, wa a’ûdzu bika min ‘ilmin lâ yanfa’." Artinya "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan aku ber lindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat" (HR. Ibn Hibbân).

Di dalam hadits lain beliau juga memerintahkan umatnya "Salû-Llâha ‘ilman nâfi‘an, wa ta‘awadzû biLlâhi min ‘ilmin lâ yanfa’. Artinya "mohonlah kepada Allah ilmu yang bermanfaat, dan mohonlah perlindungan kepada-Nya dari ilmu yang tidak bermanfaat" (HR. Ibn Mâjah).

Doa dan perintah Nabi Muhammad SAW dalam hadits di atas penting untuk diingat dan diamalkan. Di dalamnya ada isyarat bahwa ilmu bukan dinilai dari banyaknya, tetapi dari manfaatnya. Ilmu yang bermanfaat akan menghantarkan seseorang meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, ilmu yang tidak bermanfaat akan menjerumuskan seseorang ke jurang kebinasaan. Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa "ilmu terbagi dua. Pertama ilmu yang hanya di lisan yang merupakan hujjah Allah kepada manusia, dan ilmu yang meresap sampai ke hati itulah ilmu yang bermanfaat" (HR al-Darimi).

Pandangan al-Ghazali
Begitu pentingnya masalah ilmu nafi’ ini, sehingga banyak ulama kemudian merumuskan konsepnya. Imam al- Ghazali (450-505 H) adalah satu dari sekian banyak ulama besar yang menekankan pentingnya ilmu nafi’. Ulama dengan banyak karya monu mental seperti Ihya’ Ulumiddin, Bidaya tul Hidayah, Ayyuhal Walad, al-Munqidz min al-Dhalal dan Tahafut al-Falasifah memang dikenal dengan pemikirannya yang sangat fundamental. Buah pem ikirannya bahkan mampu membang kitkan generasi hebat sekaliber Nurud din Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi. Tidak berlebihan jika Imam al-Ghazali disebut sebagai pembaharu (mujaddid) abad kelima.

Menurut Imam al-Ghazali umat Islam harus memahami ilmu nafi’. Sebab seseorang yang tidak memahami ilmu nafi’ akan terjerumus pada ilmu yang berbahaya (al-ilmu al-dhar). Ilmu yang berbahaya ini akan digunakan sebagai alat mengeruk kepentingan duniawi. Ilmu seperti itu hakikatnya adalah sebuah kebodohan dan sumber kerusakan yang terjadi di alam semesta. (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Kairo: Dar Mishr Li al-Thiba‘ah, 1998, Juz IV, hlm. 438).

Melihat pentingnya ilmu nafi’ ini, Imam al-Ghazali merumuskan konsep nya lengkap dengan indikator-indi katornya. Menurutnya, "ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuat mu bertambah takut kepada Allah, membuat mata hatimu semakin tajam terhadap aib-aibmu, menambah ma’rifat mu dengan menyembah-Nya, mengu rangi keinginanmu terhadap dunia, menambah keinginanmu terhadap akhirat, membuka mata hatimu tentang rusaknya segala amalmu sehingga engkau menjaga diri dari kerusakan itu, dan membuatmu teliti atas perangkap dan tipu daya setan (Al-Ghazâli, Bidâyat al-Hidâyah, (Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 2011, hlm. 19).

Konsep ilmu nafi’ yang dirumuskan Imam al-Ghazali ini begitu kompr e hensif. Konsep ilmu yang dirumuskan un tuk membentuk manusia yang ber adab. Diawali dengan adab kepada Allah. Menurut Imam al-Ghazali, rasa takut dan ketundukan merupakan buah utama dari ilmu nafi’. Kedua sifat ini kemudian membuahkan ketaaatan ter hadap perintah Allah sekaligus mence gah dari maksiat kepada-Nya. (Al- Ghazali, Rawdhat al-Thâlibîn wa ‘Um dat al-Sâlikîn, Beirut: Dar al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 2011), hlm. 48). Pendapat Imam al-Ghazali ini sesuai dengan QS Fathir:28 bahwa sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahamba- Nya, hanyalah orang-orang berilmu (ulama). Dalam masalah ini Imam al-Ghazali juga mengutip penda pat Ibn Mas’ud yang menyatakan bahwa "ilmu itu bukanlah hanya banyaknya riwayat, sesungguhnya ilmu itu berbuah rasa takut kepada Allah (al-Khassyah)." (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Juz I, hlm. 88).

Seorang penuntut ilmu juga harus sibuk dengan aibnya sendiri daripada mengurus aib orang lain. Menurut al- Ghazali, orang yang merasa bebas dari aib adalah orang yang bodoh terhadap dirinya sendiri. Dan itu merupakan aib yang terbesar (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Juz 3, hlm. ). Ilmu nafi’ juga terlihat da ri sikap semakin mengenal Allah (ma’rifat) yang dibuktikan dengan rajin beribadah. Sebab dalam pan dangan Islam, ilmu dan amal menjadi satu. Ibadah adalah bukti pengamalan ilmu. Al-Ghazali sendiri mengingatkan muri dnya bahwa "ilmu tanpa amal ada lah gila, dan amal tanpa ilmu ada sia-sia." (al-Ghazali, Ayyuhal Walad, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2011), hlm. 4).
Indikator ilmu nafi’ berikutnya adalah membuat seseorang semakin zuhud, bukan gila dunia. Dalam masalah ini al-Ghazali tegas mengingatkan bahwa menuntut ilmu dengan tujuan meraih keuntungan dunia semata, sama dengan merobohkan agama (al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah, hlm. 1). Sebaliknya, ilmu nafi’ semakin membuat seseorang menjadi termotivasi meraih kebahagiaan di negeri akhirat. Sebagai Muslim keyakinan adanya kehidupan akhirat menjadi satu kewajiban. Dengan itu, ia akan menyiapkan bekal terbaik sebelum kembali ke negeri akhirat.

Ilmu harus ada sebelum amal. Ilmu juga harus terus mengawal amal agar tidak rusak. Ketika rukun dan syarat amal sudah disempurnakan, maka seseorang harus menjaga amalnya itu dari "virus" mematikan yang bisa membinasakan amalnya. Imam al- Ghazali menyatakan "wahai saudaraku, setelah jalan ibadahmu bagus, maka kamu wajib menjaga amalmu dari perkara yang bisa merusaknya". (al- Ghazali, Minhajul ‘Abidin, Surabaya: Maktabah Ahmad ibn Sa‘ad ibn Nabhan, tanpa tahun), hlm. 71).
Menurut Imam al-Ghazali yang perlu dikhawatirkan adalah kosongnya nilai ibadah. Jangan sampai seseorang gigih beribadah tetapi lengah terhadap cacat dan sifat buruk yang ada dalam dirinya. Sehingga ibadahnya tidak satupun yang diterima. Ibadah yang dibangun ber tahun-tahun, hancur hanya dalam wak tu sekejap. Yang paling meng kha watirkan menurut Imam al-Ghazali adalah adalah sifat riya’. Secara zahir ibadahnya untuk Allah, tetapi batinnya ditujukan untuk makhluk. Akhirnya, Allah mengusirnya dan tidak lagi memandangnya. (al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin, hlm. 80).
Terakhir, ilmu nafi’ membuat seseorang jeli terhadap perangkap dan tipu daya setan. Dalam masalah ini banyak orang-orang berilmu menjadi korbannya. Menurut Imam al-Ghazali, setan menipu penuntut ilmu dengan menggiring mereka ke jalan keburukan yang dibungkus dengan kemasan kebaikan. Setan akan membisikkan keutamaan-keutamaan ilmu, dan kedudukan orang berilmu sebagaimana yang ada di dalam al-Qur’an, Hadits ataupun perkataan ulama. Pada saat yang sama, setan membuat mereka terbuai sehingga melupakan banyak ayat dan hadits yang mengancam orang berilmu tapi tidak beramal (al-Ghazali, Bidayat al-Hidayah, hlm. 2).

Teladan Nabi
Sampai saat ini nilai Ujian Sekolah dan Ujian Nasional masih dianggap indikator suksesnya pendidikan. Pada hal sejatinya pendidikan itu bukan hanya menghapal pelajaran dan menja wab soal. Sukses atau tidaknya juga tidak cukup diukur dengan nilai di atas kertas. Dalam pandangan Islam, nilai ujian yang tinggi tidak berarti jika tidak beradab kepada Allah. Hafalan yang banyak tidak akan bernilai jika tidak diamalkan dan tidak mau beribadah. Dan banyaknya ilmu tidak akan me nambah kemuliaan seseorang di sisi Allah jika dalam dirinya ada penyakit gila dunia.
Konsep ilmu nafi’ yang dirumuskan Imam al-Ghazali masih sangat relevan untuk diterapkan dalam pendidikan di Indonesia. Karena itu, sepatutnya para perumus kebijakan pendidikan menjadi kannya sebagai indikator kenaikan atau kelulusan, khususnya bagi pelajar Mus lim.
Penerapan konsep pendidikan karakter yang sempat begitu menyita wacana pendidikan nasional, kita kembali senyap. Rezim baru memunculkan wacana "revolusi mental". Padahal, semua penguasa itu Muslim, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga mengakui bahwa Nabi Muhammad saw adalah teladan terbaik dalam pembentukan manusia berakhlak mulia. Sebab, akhlak Nabi adalah al-Quran. Bahkan, beliau menegaskan, diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Oleh para ulama – seperti Imam al- Ghazali, Ibnu Miskawaih, dan seba gainya — keteladanan Nabi Muhammad saw itu kemudian dirumuskan dalam bentuk konsep-konsep ilmiah tentang pendidikan akhlak. Bahkan, di Nusan tara ini, begitu banyak ulama yang menulis kitab tentang adab dan akhlak, seperti ulama Betawi terkenal Sayyid Usman yang menulis kitab Adabul Insan dan KH Hasyim Asyari yang menulis kitab Adabul Alim wal-Muta’allim.
Anehnya, konsep-konsep hebat – yang telah terbukti keampuhannya dalam sejarah – itu seperti tidak ditengok sama sekali oleh penguasa pendidikan nasional Indonesia. Bahkan, pemerintah kemudian memaksakan konsep yang tidak berbasis kepada keimanan dan tradisi keilmuan Islam. Kita hanya mengimbau, jika ingin pendidikan kita sukses, ajarkan para peserta didik kita Ilmu Nafi’, seba gai mana diajarkan oleh Imam al-Ghazali dan ulama-ulama lainnya. Wallahu A’lam.

Muhammad Ardiansyah
Mudir Ma’had ‘Ali Hujjatul Islam dan Pesantren Shoul Lin al-Islami, Depok

Sumber: https://republika.co.id/berita/koran/islamia/15/04/16/nmw94f21-ilmu-nafi-untuk-perbaikan-pendidikan 

Catatan Penting: Penulis blog ini sudah berkomunikasi langsung via whatsapp, meminta saran materi khutbah Jum'at kepada Ust. Dr. Muhammad Ardiansyah, lalu beliau menjawab dengan memberikan link tersebut di atas






Sejumlah anak muda menjadi pembela dakwah dan perjuangan Rasulullah Saw dalam menegakkan Islam. Usia mereka belasan tahun hingga 20-an tahun.

SETELAH kita menyimak kisah heroik-Islami dua  mujahid cilik dalam Perang Badar, Muadz bin Amr dan Muawwidz bin Afra’,  yang berhasil membunuh Abu Jahal, kali ini kita akan menyimak betapa banyak anak muda dalam perjalanan dakwah dan jihad Nabi Muhammad Saw.

Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasul tatkala berusia 40 tahun, usia matang yang bisa dikatakan tidak lagi muda. Namun, para pengikut generasi pertama beliau kebanyakan anak muda, usia belasan tahun, bahkan ada yang masih kecil.

Usia para pemuda Islam yang dibina pertama kali oleh Rasulullah saw di Daarul Arqaam pada tahap pembinaan, adalah sebagai berikut:

  1. Yang paling muda yaitu Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Al-Awwam (8 tahun)
  2. Thalhah bin Ubaidillah (11 tahun)
  3. Al-Arqaam bin Abil Arqaam (12 tahun)
  4. Abdullah bin Mazh’un (17 tahun)
  5. Ja’far bin Abi Thalib (18 tahun)
  6. Qudaamah bin Abi Mazh’un (19 tahun)
  7. Said bin Zaid dan Shuhaib Ar Rumi (dibawah 20 tahun)
  8. 'Aamir bin Fahirah (23 tahun)
  9. Mush’ab bin ‘Umair dan Al Miqdad bin al Aswad (24 tahun)
  10. Abdullah bin al Jahsy (25 tahun)
  11. Umar bin al Khathab (26 tahun)
  12. Abu Ubaidah Ibnuk Jarrah dan ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Amir bin Rabiah, Nu’aim bin Abdillah, ‘ Usman bin Mazh’un, Abu Salamah, Abdurrahman bin Auf di mana kesemuanya (sekitar 30 tahun)
  13. Ammar bin Yasir (30-40 tahun)
  14. Abu Bakar Ash Shiddiq (37 tahun).
  15. Hamzah bin Abdul Muththalib (42 tahun)
  16. 'Ubaidah bin Al Harith (50 tahun), yang paling tua.
Banyak pula sahabat Nabi Saw yang berusia muda menjadi pemimpin perang.

Usamah bin Zaid diangkat oleh Nabi Saw sebagai komandan pasukan kaum Muslimin menyerbu wilayah Syam (saat itu merupakan wilayah Rom) dalam usia 18 tahun. Di antara prajurit terdapat orang yang lebih tua, seperti Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan lain-lainnya.

Sebelumnya, dalam Perang Khandaq, Usamah bin Zaid datang bersama kawan-kawannya sesama "remaja ABG". Usamah berdiri tegap di hadapan Rasulullah Saw supaya kelihatan lebih tinggi, agar diperkenankan turut berperang.

Rasulullah Saw yang kasihan melihat Usamah yang bertekad kuat ingin berperang memenuhinya. Ketika itu Usamah baru berusia 15 tahun!

Abdullah bin Umar saat berumur 13 tahun menyatakan ingin ikut Perang Badar. Ibnu Umar bersama al-Barra’ datang kepada Nabi Saw seraya meminta agar diterima sebagai prajurit. Saat itu Rasulullah Saw menolak kedua pemuda kecil itu.

Tahun berikutnya, pada Perang Uhud, keduanya datang lagi, tapi yang diterima hanya Al-Barra’. Pada perang Al-Ahzab (Khandaq) barulah Nabi Saw menerima Ibnu Umar sebagai anggota pasukan kaum Muslimin (Shahih Bukhari).

Di antara 10 sahabat Nabi Saw yang paling awal masuk Islam sekaligus dijamin masuk surga oleh Nabi Saw dalam satu hadits, mayoritas berusia muda saat pertama kali masuk Islam:
  1. Abu Bakar ash Shiddiq 37 tahun
  2. Umar bin Khattab 27 tahun
  3. Utsman bin Affan 34 tahun
  4. Ali bin Abi Thalib 10 tahun
  5. Thalhah bin Ubaidillah 14 tahun
  6. Zubair bin Awwam 16 tahun
  7. Saad bin Abi Waqqash 17 tahun
  8. Said bin zaid 15 tahun
  9. Abu Ubaidah bin Jarrah 27 tahun
  10. Abdurahman bin Auf 30 tahun.
Demikianlah Anak-Anak Muda di Sekitar Rasulullah Saw yang menjadi mujahidin fillah, pejuang pembela agama Allah SWT.

Semoga menjadi inspirasi bagi anak-anak muda zaman kini, juga inspirasi bagi generasi tua untuk lebih membina ghirah dan ruhul jihad kawula muda. Amin...! (http://www.risalahislam.com).*

Sumber: http://risalahislamterkini.blogspot.co.id/2015/06/anak-anak-muda-di-sekitar-rasulullah-saw.html
Jika umat Islam kalah dalam berbagai bidang kehidupan, maka patut dilakukan evaluasi yang serius kondisi pendidikan kita
Oleh: Dr. Adian Husaini

“MASA SMA” biasanya berkisar usia 15-18 tahun. Di Indonesia, program pendidikan masa SMA secara umum dibagi menjadi dua. Pertama, jalur SMU yang menyiapkan siswanya untuk  memasuki jenjang Perguruan Tinggi. Kedua, jalur SMK, yang menyiapkan siswanya untuk siap terjun ke dunia kerja. Di era 1980-an, pemerintah pernah memiliki program Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP), yang menggabungkan dua jenis program itu dalam satu sekolah. Saya termasuk salah satu lulusan SMPP, tahun 1984.
Di tahun 1981-1984, atas nasehat orang tua, saya menjalani dua program pendidikan. Di SMPPN Bojonegoro dan di Pesantren al-Rosyid Kendal Bojonegoro. Dari ratusan siswa SMPPN Bojonegoro, hanya dua orang yang nyantri di Pesantren al-Rosyid. Di Pesantren inilah saya sempat belajar dan menamatkan sejumlah “Kitab Kuning”, seperti Matan al-Ajurrumiyah, Ta’limul Muta’allim, al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, Uqudul-Lujain, Riyadhus Shalihin, dan sebagainya.
Disamping itu, saya masih rutin membaca Majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Buya Hamka. Sejumlah buku sempat mempengaruhi pola pikir saya, seperti buku Tasauf Modern karya Buya Hamka, Iman Jalan Menuju Sukses karya KH Najih Ahjat, al-Quran Dasar Tanya Jawab Ilmiah, Biologi Iman, dan sebagainya. Di pesantren ini pula saya mendapat kesempatan belajar hidup mandiri; dilatih hidup tanpa listrik, tidur tanpa kasur dan bantal, serta memasak dan mencuci sendiri. Uang Rp 5 ribu, cukup untuk sebulan.
Lulus dari jenjang SMPP, alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan kuliah tanpa tes ke IPB (Jalur Perintis II), dan ke Jurusuan Pendidikan Fisika IKIP Malang, melalui jalur PMDK.  Hasil istikharah, saya memutuskan kuliah di IPB.  Itu juga amanah sekolah, karena saya satu-satunya wakil SMPP untuk kuliah di IPB.  Seperti melanjutkan pendidikan pesantren, di Kota Bogor ini pula, saya berkesempatan belajar Islam kepada banyak ulama terkenal, seperti KH Abdullah bin Nuh, KH Tubagus Hasan Basri, KH Sholeh Iskandar, KH Didin Hafidhuddin, Ustad Abdurrahman al-Baghdadi, dan sebagainya.
Pengalaman belajar di SMA dan Pesantren itu terjadi lebih dari 30 tahun lalu. Dunia kini sudah banyak berubah. Perkembangan pesat dalam dunia komunikasi, mau tidak mau juga memaksa dunia pendidikan ikut berubah. Satu yang belum banyak berubah adalah “orientasi lulusan SMA”, masih terarah kepada “Perguruan Tinggi Favorit”. Bahwa, tujuan utama belajar di bangku SMA adalah menyiapkan diri untuk bisa kuliah di Perguruan Tinggi favorit.
Di bangku SMA pada umumnya, biasanya para siswa tidak diberikan kajian-kajian pemikiran yang serius tentang peradaban, tentang sejarah, tentang pemikiran Islam, tentang politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya. Sebab, para siswa SMA dianggap masih “anak-anak”. Mereka dianggap belum dewasa. Dalam istilah lain, para siswa SMA dimasukkan ke dalam ketegori “Remaja”.
Lazimnya, dalam psikologi, remaja (adolensence) dianggap periode peralihan anak menuju dewasa. Ia tidak mempunyai tempat yang jelas. Anak bukan, dewasa belum. Masa remaja berkisar pada usia 12-21 tahun bagi wanita dan 13-22 pria. (http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/).  Konon pula, menurut pakar Psikologi Perkembangan seperti Hurlock (1990), dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun. Secara umum, mereka yang tergolong dewasa muda (young) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. Menurut seorang ahli psikologi perkembangan, Santrock (1999), orang dewasa muda termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically trantition) transisi secara intelektual (cognitive trantition), serta transisi peran sosial (social role trantition).
Perkembangan sosial masa dewasa awal adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah masa beralihnya pandangan egosentris menjadi sikap yang empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan penting.” (http://www.psychoshare.com/file-119/psikologi-dewasa/perkembangan-dewasa-awal.html)
Tampak, bahwa konsep remaja itu didasarkan pada penelitian empiris yang sangat tergantung kepada objek penelitian. Padahal, kondisi objek penelitian itu sendiri, ditentukan oleh proses pendidikan yang diterimanya. Jika objek yang diteliti adalah komunitas orang bingung (golongan bingung/golbin), maka kesimpulan yang diraih pun kesimpulan bingung. Coba, yang diteliti adalah anak-anak muda yang sudah mantap iman dan pemikirannya, tentu definisi remaja pun akan berbeda.

Sudah dewasa
Pengkategorian “masa SMA” sebagai masa “remaja” dan “belum dewasa” kini mulai dipertanyakan.  Sebab, begitu memasuki umur  15 tahun, manusia sudah tergolong dewasa.  Adriano Rusfi adalah salah satu psikolog yang dikenal gencar mengkritisi kategorisasi remaja bagi usia SMP-SMA. Beberapa kali saya mendengar paparan beliau. Menurutnya, literatur psikologi abad ke-19 tak mengenal masa remaja (adolescence), karena masa remaja adalah produk abad ke-20 dimana telah lahir generasi dewasa fisik (baligh) namun tak dewasa mental (aqil).
Dengan “legalitas remaja”, seolah-olah anak dibiarkan berlama-lama menjadi anak-anak. Maka, lahirlah generasi yang matang syahwatnya, tetapi tanpa kematangan akal. Karena masih remaja, dan dianggap belum dewasa, maka usia remaja dianggap belum matang, dan masih belum bisa menentukan sikap hidupnya.
Pandangan Adriano Rusfi ini menarik. Sebab, memang tidak jarang muncul kerancuan. Manusia berusia 17 tahun, sudah mampu memperkosa dan membunuh, tetapi dikategorikan status hukumnya sebagai “anak-anak”.  Dalam Islam, jika seorang sudah memasuki tahap ‘baligh’, maka ia sesungguhnya telah dewasa. Ketika itulah seharusnya ia dididik sebagai manusia dewasa. Tentu saja sesuai dengan kondisi usianya.
Dalam UU Perkawinan No 1/1974, batas minimal usia menikah bagi wanita adalah 16 tahun. Batas umur itu mengindikasikan, sepatutnya seorang wanita telah disiapkan jiwa raganya untuk menjadi dewasa. Pendidikan harus mendewasakan dan memandirikan; bukan justru memaksa anak berlama-lama menjadi anak-anak.
Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Umar r.a. disebutkan, bahwa Rasulullah saw memanggil Abdullah bin Umar untuk hadir ke hadapan beliau menjelang Perang Uhud. Ketika itu usia Abdullah 14 tahun. Dan Rasul tidak mengijinkannya ikut berperang. Kemudian Rasulullah saw kembali memanggil Abdullah hadir ke hadapan beliau menjelang Perang Khandaq. Usia Abdullah bin Umar  ketika itu 15 tahun. Rasulullah saw lalu mengijinkan Abdullah berperang.” Nafi’ berkata, “Aku datang kepada Umar bin Abdul Aziz yang merupakan Khalifah pada waktu itu dan menyampaikan riwayat tersebut. Khalifah berkata, “Usia ini (15 tahun) adalah batas antara anak-anak dan dewasa.” Dan beliau perintahkan kepada para gubernur untuk memberikan tunjangan kepada siapa saja yang telah mencapai usia 15 tahun.” (HR Bukhari).
Jadi, berdasarkan pada hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam tersebut, dan juga berbagai fakta sejarah pendidikan, bisa dipahami, bahwa usia 15 tahun adalah masa anak-anak memasuki masa dewasa. Jangan sampai dalam masa usia 15 tahun, para siswa tidak disiapkan jiwa dan raganya agar benar-benar menjadi manusia dewasa yang sejati. Rasulullah saw telah memberikan teladan, bagaimana mendidik anak-anak umur belasan tahun menjadi matang di usia yang sangat muda.
Kisah yang masyhur menyebutkan, bahwa Usamah bin Zaid, diangkat oleh Nabi saw menjadi Panglima Perang di usia 18 tahun. Dalam sebuah peperangan melawan Romawi, Usamah memimpin pasukan yang di dalamnya ada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., Umar bin Khathab r.a., dan lain-lain. Usamah mulai diijinkan ikut perang pada usia 15 tahun.
Abdullah bin Umar dan al-Barra’ saat berumur 13 tahun belum diijinkan Nabi untuk ikut perang, meskipun mereka mengajukan diri.  Diantara sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang masuk Islam di usia yang sangat muda adalah Ali bin Abi Thalib (10 tahun), Thalhah bin Ubaidillah (14 tahun), Zubair bin Awwam (16 tahun), Saad bin Abi Waqqash (17 tahun), Said bin zaid 15 tahun, dan sebagainya. (http://risalahislamterkini.blogspot.co.id/2015/06/anak-anak-muda-di-sekitar-rasulullah-saw.html).
Di Indonesia, pun banyak dijumpai tokoh-tokoh yang sudah matang jiwa dan raganya di usia belasan tahun. Menurut Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, ayah beliau, yakni KH Imam Zarkasyi mendirikan pesantren Gontor di usia 16 tahun.  Haji Agus Salim diangkat sebagai Konsul Hindia Belanda di Jeddah pada usia 20 tahun. Mohammad Natsir sudah berdebat dengan pendeta Belanda saat duduk di bangku SMA. Lulus SMA, Pak Natsir terjun langsung menjadi guru dan mendirikan sekolah sendiri (Pendis:Pendidikan Islam), tahun 1932.
Sejumlah tokoh PKI pun mulai berkiprah di usia sangat muda. Contohnya, Semaoen. Pada usia sekitar 18 tahun, ia sudah memimpin Sarekat Islam (SI) Semarang bersama rekannya, Darsono. Akhirnya, Semaoen keluar dari SI dan mendirikan Persyarekatan Komunis India (PKI) yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia/PKI. (lihat Suradi; Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Pustaka Sinar Harapan, 1997). https://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/22/kaum-muda-penggerak-revolusi-indonesia/
Dr. Erma Pawitasari, dalam sebuah makalahnya berjudul “Pendidikan Khusus Perempuan: Antara Kesetaraan Gender dan Islam”, mengungkap hasil penelitian Frances E. Jensen, seorang ahli neurologi, yang menemukan bahwa pertumbuhan otak perempuan mencapai puncaknya pada usia 12-14 tahun. Sedangkan otak laki-laki-laki mencapai puncak pertumbuhannya pada usia 14-16 tahun.

PRISTAC
Berdasarkan data sejarah dan fakta perkembangan otak manusia tersebut, bisa disimpulkan, bahwa rentang usia sekitar 12-18 tahun (jenjang SMP-SMA) adalah masa keemasan untuk menanamkan adab dan pemikiran Islam. Sejarah pendidikan di Indonesia juga menunjukkan hal yang sama. Pada tahun 1906, di Jakarta sudah berdiri sebuah sekolah (Jamiat al-Khair) setingkat SMA yang guru-gurunya adalah ulama-ulama dari Tunisia, Sudan, Saudi dan lain-lain.
Menurut Pak Natsir, ketika duduk di bangku SMA Belanda di Bandung, ia diwajibkan membaca minimal 36 buku untuk satu mata pelajaran. Dulu, lulusan Mu’allimin dari berbagai lembaga dan organisasi Islam sudah disiapkan untuk menjadi manusia dewasa yang mampu terjun ke tengah masyarakat sebagai guru yang baik.
Jadi, itu semua menunjukkan, bahwa “masa SMA” (sekitar 15-18 tahun) bukanlah sekedar masa persiapan untuk memasuki jenjang Pendidikan Tinggi. Keliru, jika ada pemikiran, mereka masih anak-anak sehingga jangan diberikan beban pendidikan dengan muatan pemikiran yang serius. Karena “usia SMA” adalah usia dewasa, maka para siswa harus dididik sebagai orang dewasa, dan disiapkan menjadi pejuang, untuk terjun ke tengah masyarakat atau menjadi pemimpin saat kuliah di Perguruan Tinggi.
Untuk itulah, beberapa bulan lalu, bersama sejumlah pakar pemikiran Islam di INSISTS dan praktisi pendidikan di Pesantren Shoul Lin al-Islami, kami mendirikan sebuah program pendidikan bernama “Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization (PRISTAC)”.
PRISTAC adalah program pendidikan pesantren (non-formal) setingkat SMA, yang dirancang untuk melahirkan kader-kader intelektual muslim yang beradab jiwa-raga, cerdas, mandiri, cinta ilmu dan semangat ber-amar ma’ruf nahi munkar untuk kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia.
PRISTAC dipimpin langsung Ust. Alwi Alatas, kandidat doktor ilmu sejarah di International Islamic University Malaysia, penulis produktif,  dan praktisi pendidikan yang berpengalaman. PRISTAC juga menyiapkan guru-guru yang terdiri atas para doktor dan pakar pemikiran dan peradaban Islam. Bahasa pengantar digunakan bahasa Inggris dan bahasa Arab sebagai bahasa riset. Selama satu tahun, para santri diwajibkan mengikuti matrikulasi bahasa Inggris, bahasa Arab, dan adab. (lihat, www.ponpes-attaqwa.com).
Merujuk QS Luqman ayat 17, maka jelas kita diperintahkan Allah SWT agar menyiapkan anak-anak kita menjadi pejuang penegak kebenaran.  “Wahai Anakku, dirikanlah shalat, dan berjuanglah menegakkan kebaikan dan mencegah kemunkaran, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu…” (QS Luqman: 17). QS al-Anfal:65-66 menjelaskan, bahwa Nabi Muhammad saw diperintah menyiapkan orang-orang mukmin agar memiliki kekuatan jauh lebih hebat dari orang-orang kafir. QS Ali Imran:110 pun menegaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang tugasnya melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Begitu pentingnya kewajiban amar ma’ruf nahi munkar itu, sampai Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin menyebutkan, bahwa aktivitas amar ma’ruf nahi munkar adalah aktivitas yang menentukan hidup dan matinya umat Islam. Karena itu, jika umat Islam kalah dalam berbagai bidang kehidupan, maka patut dilakukan evaluasi yang serius kondisi pendidikan kita. Apakah sekolah, keluarga, pesantren, masjid, majelis ta’lim, dan juga Perguruan Tinggi Islam benar-benar serius menyiapkan peserta didiknya untuk menjadi pejuang amar ma’ruf nahi munkar?
Kita ingat pula, bahwa sejak tahun 1977, dalam Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Kota Mekkah, “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a good man… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…”.  Teori pendidikan Prof. Naquib al-Attas yang fenomenal adalah bahwa krisis multidimensi yang diderita oleh umat Islam saat ini adalah berakar pada “loss of adab” (hilang adab).
Teori Prof. al-Attas itu mempunyai rujukan yang kuat dalam al-Quran, hadits Nabi, dan tradisi pendidikan para ulama salaf.  Dalam Tafsir Ibn Katsir, disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a. menjelaskan makna QS at-Tahrim:6: “Didiklah keluargamu agar menjadi manusia beradab dan berilmu.”  Sabda Nabi saw:  “Akrimū aulādakum, wa-ahsinū adabahum.” (Muliakanlah anak-anakmu dan  perbaikilah adab mereka). (HR Ibn Majah). 
Imam asy-Syafii rahimahullah,  pernah ditanya, “Bagaimana usaha Tuan dalam mencari adab?” Sang Imam menjawab, ”Aku senantiasa mencarinya laksana seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.” (Kitab Adab al- ‘Ālim wal-Muta’allim,  karya KH Hasyim Asy’ari).
Untuk menanamkan adab dalam diri santri, pada umur 10-14 tahun, para santri Pesantren at-Taqwa (Shoul Lin al-Islami) Depok, telah diajarkan kitab-kitab adab berbahasa Arab Melayu seperti Kitab Adabul Insan, Risalah Dua Ilmu, dan Gurindam 12. Mereka juga diajar kitab adab berbahasa Arab, seperti Ayyuhal Walad dan Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali. Bahkan, pada Oktober 2016, para santri Shoul-Lin al-Islami tingkat SMP dikirim ke Jawa Timur untuk mengkhatamkan kitab Adab al- ‘Ālim wal-Muta’allim.
Dalam pembinaan badan, setiap hari mereka berlatih silat, pagi dan sore.  Itu semua dilakukan, agar ketika memasuki jenjang SMA, mereka sudah memiliki adab yang baik; mereka sudah beradab jiwa dan raga; mereka sudah terbangun jiwa dan raganya; dan sudah memiliki sikap cinta ilmu. Alhamdulillah, kami bersyukur kepada Allah, bahwa program pendidikan yang singkat itu telah menampakkan hasil yang cukup baik. Tentu saja itu semua juga dipengaruhi oleh faktor kesungguhan dan keikhlasan para guru dan dukungan orang tua.
Akhirul Kalam, untuk menunaikan amanah kita sebagai orang tua, jangan sampai kita menyia-nyiakan “usia SMP dan SMA”, dimana anak-anak sebagian besar waktunya digunakan hanya untuk latihan menjawab soal-soal ujian.  Jangan sampai mereka tidak dilatih untuk menjadi manusia beradab. Mereka juga harus dilatih menjawab soal-soal kehidupan; dikenalkan secara serius siapa Allah, siapa dirinya, dan hakikat dunia serta hakikat kehidupan akhirat.
Kita simak, ungkapan-ungkapan indah gubahan kata Raja Ali Haji dalam Gurindam 12, yang berisikan ajaran-ajaran adab:
//Barang siapa tiada memegang agama/sekali-sekali tiada boleh dibilangkan
nama//barangsiapa mengenal yang empat/maka yaitulah orang yang
makrifat//barangsiapa mengenal Allah/suruh dan tegahnya tiada ia
menyalah//barangsiapa mengenal diri/maka telah mengenal Tuhan yang
bahri//barangsiapa mengenal dunia/tahulah ia barang yang terperdaya//barangsiapa
mengenal akhirat/tahulah ia dunia mudharat//(fasal 1)
//Jika hendak mengenal orang berbangsa/lihat kepada budi dan bahasa//jika hendak mengenal orang yang berbahagia/sangat memeliharakan yang sia-sia//jika hendak mengenal orang mulia/lihatlah kepada kelakuan dia//jika hendak mengenal orang yang berilmu/bertanya dan belajar tiadalah jemu//jika hendak mengenal orang yang berakal/di dalam dunia mengambil bekal//jika hendak mengenal orang yang baik perangai/lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai// (fasal 5).

Itulah sebagian contoh indahnya ajaran adab dalam Kitab klasik Gurindam 12 karya Raja Ali Haji yang ditulis huruf Arab Melayu. Sayang, jika khazanah yang begitu indah, tidak diajarkan di rumah dan sekolah-sekolah kita. Pendidikan kita harus dirancang untuk melahirkan manusia-manusia yang adil dan beradab. Ketika lulus jenjang SMA, mereka telah siap menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, masyarakatnya, dan bangsanya. Mereka siap terjun sebagai pendidik, sekaligus siap menjadi pemimpin ketika melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi.
Jadi, jangan sia-siakan “masa SMA”! Semoga Allah meridhai langkah kita. Amin.*/Bandung, 27 November 2016
Penulis adalah Ketua Program Magister dan Doktor Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor. Catatan Akhir Pekan (CAP) hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

Sumber: https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2016/11/27/106366/jangan-sia-siakan-masa-sma.html
Kehadiran Alwi Alatas, sebagai seorang Doktor Ilmu Sejarah diharapkan akan memperkuat usaha perjuangan ‘meluruskan sejarah’ di Indonesia
Oleh: Dr. Adian Husaini

PADA  hari Selasa, 30 Mei 2017, bertepatan dengan 4 Ramadhan 1438, Mudir PRISTAC Ponpes at-Taqwa Depok, Alwi Alatas meraih gelar doktor dalam bidang Ilmu  Sejarah di International Islamic University Malaysia (IIUM). Alwi berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul: ECONOMY OF THE PRIBUMI IN LATE COLONIAL JAVA 1900-1942: CONTINUITY AND CHANGE IN PRIANGAN.
Selama ini, Alwi Alatas dikenal sebagai guru, sejarawan, penulis buku, dan juga Mudir/Direktur PRISTAC (Pesantren for the Study of Islamic Thought and Civilization). PRISTAC adalah lembaga pendidikan non-formal pesantren setaraf SMA yang berada dalam naungan Pesantren at-Taqwa Depok. (http://www.ponpes-attaqwa.com)
Ada pun tentang disertasinya, menurut Alwi Alatas, isinya berkenaan dengan aktivitas ekonomi masyarakat pribumi di kawasan Priangan di Jawa Barat yang meliputi daerah Bandung, Garut, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, dan juga Sukabumi serta Cianjur pada akhir era kolonial Belanda. Pada periode yang diteliti ini, yaitu tahun 1900 hingga 1942, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan satu kebijakan baru, yaitu Politik Etis, yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat pribumi yang pada masa-masa sebelumnya telah mengalami kemerosotan yang hebat disebabkan kebijakan kolonial yang eksploitatif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk  “mengkaji kebijakan ekonomi pemerintah kolonial di Priangan antara tahun 1900-1942 serta dampaknya bagi masyarakat pribumi”. Selain itu, studi ini juga “menjelaskan aktivitas ekonomi masyarakat pribumi di Priangan dalam bidang pertanian dan di luar pertanian serta pola perubahannya selama periode tersebut”.
Disertasi setebal 311 halaman ini dibagi dalam tujuh bab dengan proposal penelitian pada bab pertama, diikuti dengan ekonomi Pribumi di Priangan sebelum abad ke-20 pada bab kedua, dan pemaparan tentang kebijakan Politik Etis tahun 1900-1942 pada bab ketiga. Tiga bab berikutnya menjelaskan tentang ekonomi Pribumi di Priangan masing-masing di bidang pertanian, industri, dan kewirausahaan. Bab penutup merupakan kesimpulan dari penelitian ini.
Yang bertindak sebagai penguji (examiner) atas disertasi ini adalah Prof. Dr. Wan Kamal Mujani dari Department of Arabic Studies and Islamic Civilization, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Prof. dr. Saiyid Zaheer Husain Jafri dari Department of History, University of Delhi, India. Keduanya merupakan external examiners, serta seorang internal examiner, yaitu Prof. Dr. Arshad Islam dari Department of History and Civilization, IIUM. Pada sidang disertasi, hanya internal examiner yang dapat hadir, sementara dua orang external examiners tidak dapat hadir, tetapi masing-masing memberikan evaluasinya secara tertulis.
Sidang disertasi alwi Alatas dipimpin oleh Prof. Dr. Ismaiel Hassanein Ahmed Mohamed dari Kulliyah of Education, IIUM, dan dihadiri oleh Dr. Elmira Akhmetova dari Department History and Civilization, Asst. Prof. Dr. Wan Suhana Wan Sulong selaku pembimbing (supervisor), seorang sekretaris akademik, serta Prof. Arshad Islam sebagai internal examiner. Sidang dimulai pukul 14.30 waktu Malaysia dan berjalan selama kurang lebih satu jam.
Penelitian ini memaparkan bahwa pada era kolonial, khususnya di abad ke-19, telah terjadi eksploitasi ekonomi yang menyebabkan kemunduran serius pada tingkat kemakmuran masyarakat. Hal ini mendorong pemerintah kolonial untuk mengeluarkan kebijakan baru, yaitu Politik Etis, untuk memperbaiki tingkat ekonomi masyarakat pribumi. Kebijakan ini secara umum memang membantu meningkatkan ekonomi masyarakat di negeri jajahan, termasuk di Priangan, tetapi ada banyak data yang menunjukkan tentang keengganan atau kekurangseriusan pemerintah kolonial dalam menjalankan kebijakan ini. Perbaikan ekonomi tersebut pada akhirnya tidak sedikitpun mengangkat kedudukan masyarakat pribumi ke tingkat yang sama dengan orang-orang Eropa, tetapi hanya meningkatkan daya beli mereka yang membuat orang-orang Belanda dan Eropa dapat memasarkan produk-produk mereka dengan lebih baik kepada masyarakat pribumi.
Karena itu Harry J. Benda dalam Continuity & Change in Southeast Asia menyebut kebijakan ini sebagai “setengah hati” (half-hearted). Begitu pula Adrian Vickers dalam A History of Modern Indonesia menggarisbawahi bahwa pada periode Politik Etis “basis bagi negeri koloni tetap keuntungan” (the basis of the colony was still profit) dan “kaum liberal memasukkan ‘kecintaan pada orang-orang Jawa’ di dalam laporan-laporan publikasi mereka, tetapi tidak membiarkan hal itu menyentuh kantong-kantong mereka” (the Liberals entered “Love for the Javanese” in their published accounts, but did no let it touch their pockets). Ini terlepas dari kenyataan bahwa mungkin saja ada beberapa pejabat Belanda yang tulus dalam usahanya membantu kaum pribumi.
Priangan pada periode yang diteliti ini mengalami beberapa perubahan yang cukup penting di bidang ekonomi. Laporan-laporan memperlihatkan adanya peningkatan kemakmuran di tengah masyarakat pribumi di Priangan. Masyarakat pribumi yang sebelumnya sangat didominasi oleh pertanian dan perkebunan dalam mata pencaharian mereka, kini juga semakin bergeser ke bidang-bidang non-pertanian, walaupun persentasenya masih sangat kecil dibandingkan bidang pertanian.
Semakin banyak masyarakat pribumi yang bekerja di sektor industri dan keahlian seperti tekstil dan batik, pembuatan genteng dan batu bata, menjadi mandor, juru masak, dan lain sebagainya. Bahkan mulai bermunculan pengusaha-pengusaha pribumi yang mengembangkan usaha di bidang keuangan, koperasi perkebunan, tekstil, bahkan dalam hal impor. Usaha-usaha ini biasanya dijalankan dalam bentuk koperasi yang memang mulai berkembang di Indonesia pada dekade kedua abad ke-20.
Di antara contoh usaha yang diterangkan dalam disertasi ini antara lain koperasi teh Madoe Tawon di Sukabumi, bank koperasi Himpoenan Soedara di Bandung, dan beberapa perusahaan tekstil di Majalaya. Usaha-usaha ini mampu bertahan hingga ke akhir era kolonial Belanda, bahkan mengalami pertumbuhan yang sangat baik. Koperasi petani teh Madoe Tawon, sebagai contoh, berdiri pada tahun 1911 dengan bantuan pejabat kolonial. Modal awalnya sebesar f 3.000, yang baru terhimpun dari para anggotanya pada tahun 1916, di samping modal berupa lahan senilai kurang lebih f 2.000. Koperasi ini mampu berkembang sehingga beberapa tahun kemudian dianggap sudah mampu mandiri oleh pemerintah kolonial. Madoe Tawon berhasil mengikat kontrak penjualan daun teh dengan sebuah perusahaan teh Eropa. Pada tahun 1923, koperasi ini memiliki total aset dan dana cadangan senilai total f 20.570, dan dividen yang telah dibagikannya kepada para anggotanya hingga ke tahun tersebut adalah sebesar f. 25.887. Walaupun sempat terpukul depresi ekonomi pada awal 1930-an, koperasi ini mampu bertahan dan kemudian berkembang kembali, hingga pada akhir era kolonial Belanda bisnisnya melebar ke bidang-bidang perkebunan selain teh.
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat pribumi memiliki kemampuan untuk berkembang secara ekonomi sekiranya mereka diberi peluang dan kesempatan yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Namun, penjajahan yang panjang telah menghilangkan kesempatan ini dan menjadikan masyarakat pribumi tak lebih dari obyek eksploitasi ekonomi. Bahkan ketika pemerintah kolonial bermaksud membayar hutang budinya lewat Politik Etis, hal ini tidak dilakukan dengan sepenuh hati.
Dalam kesimpulan penelitiannya Alwi menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah kolonial pada periode ini memang secara umum telah membantu meningkatkan taraf ekonomi masyarakat pribumi, tetapi tetap tidak ada perubahan pada struktur ekonomi yang ada. Artinya, masyarakat pribumi tetap berada di level terendah dalam struktur ekonomi di Hindia Belanda, di mana orang-orang Belanda dan Eropa menempati posisi teratas dan orang-orang China dan Timur Asing berada di posisi menengah. Hal ini memperlihatkan secara jelas bahwa pemerintah kolonial tidak membantu dengan sungguh-sungguh upaya perbaikan ekonomi masyarakat jajahan dan bantuan itu tidak diberikan melainkan untuk mengembalikan keuntungan terbesarnya kepada bangsa penjajah sendiri.
Presentasi disertasi Alwi Alatas dilanjutkan dengan diskusi singkat dengan para akademisi yang menghadiri sidang disertasi. Para penguji memberikan beberapa saran, baik secara lisan maupun tulisan, terkait sedikit editing bahasa dan beberapa tambahan untuk penyempurnaan disertasi. Walhasil, Alhamdulillah, Alwi Alatas berhasil meraih gelar doktor dalam Ilmu Sejarah. Kita doakan, semoga ilmu dan gelarnya bermanfaat.
Kehadiran Alwi Alatas, sebagai seorang Doktor Ilmu Sejarah diharapkan akan memperkuat usaha perjuangan ‘meluruskan sejarah’ di Indonesia. Sebelumnya, Dr. Tiar Anwar Bahtiar juga telah lulus doktor ilmu sejarah dari Universitas Indonesia, dengan disertasi tentang sejarah pergulatan pemikiran Islam melawan liberalisme di Indonesia.  Kita berharap, setelah Dr. Tiar dan Dr. Alwi, akan bermunculan para sejarawan muslim yang gigih berjihad dalam bidang ilmu sejarah.
Sebab, ilmu sejarah memegang peranan yang penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau peradaban. Seperti ditulis oleh Cendekiawan Muslim, Muhammad Asad dalam bukunya, Islam at the Cross Roads:  “No civilization can prosper – or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past…”  Karena itu, bisa dipahami, jika untuk mengebiri kebangkitan peradaban Islam, maka umat Islam diajarkan sejarah yang salah. Pelajaran sejarah tidak membuat banyak pelajar muslim Indonesia bangga dengan sejarahnya dan bahkan mereka tidak mengenal para ulama dan pejuang Islam Indonesia.
Ketika bicara tentang sejarah pendidikan Indonesia, anak-anak sekolah tidak mengagumi KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, dan lain-lain, sebagai tokoh pendidikan nasional.  Mungkin banyak anak-anak muslim di Jakarta dan sekitarnya saat ini yang tidak mengenal dan mengagumi Habib Usman, KH Abdullah Syafii, KH Noer Ali, dan sebagainya.  Jika kenal saja tidak, bagaimana mereka akan mengagumi dan menjadikan para ulama itu sebagai panutan?
Karena itulah, untuk mewujudkan kebangkitan umat Islam dan bangsa Indonesia, kita menunggu dan berharap kiprah Dr. Alwi Alatas, Dr. Tiar Anwar Bahtiar, dan para sejarawan muslim lainnya. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan kekuatan kepada para ilmuwan pejuang tersebut. Amin.*
Penulis guru Pesantren at-Taqwa Depok-Jawa Barat.  Radio dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Sumber: https://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2017/06/07/118137/teliti-ekonomi-pribumi-mudir-pristac-raih-gelar-doktor-sejarah.html

Råsulullåh bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu WAJIB atas setiap Muslim.”

(Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum;sumber)

Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:

Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang (tauhid), shalat, zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.

Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya.

Ketahuilah, menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.

[Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr; sumber]

Keutamaan Menuntut ilmu DENGAN MENDATANGI MAJELIS ILMU

1. Pahala besar bagi mereka yang mendatangi masjid untuk menuntut ilmu

Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

من غدا إلى مسجد لا يريد إلا أن يتعلم خيرا أو يعلمه ، كان له كأجر حاج ، تاما حجته

Barangsiapa yang pergi ke masjid, tidaklah diinginkannya (untuk pergi ke masjid) kecuali untuk mempelajari kebaikan atau untuk mengajarkan kebaikan. Maka baginya pahala seperti orang yang melakukan haji dengan sempurna.

(Dikatakan syekh al Albaaniy dalam shahiih at targhiib: “Hasan Shahiih”)

2. Dimudahkan jalan menuju surga

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga.

(Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid); sumber)

Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.

“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:

Pertama, Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.

Kedua, Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu syar’i.

“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna.

Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya.

Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam. (sumber)

3. Diampuni dosanya oleh Allah

Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَا جَلَسَ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فَيَقُوْمُوْنَ حَتَّى يُقَالُ لَهُمْ: قُوْمُوْا قَدْ غَفَرَ اللهُ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَبُـدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ

“Tidaklah duduk suatu kaum, kemudian mereka berzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam duduknya hingga mereka berdiri, melainkan dikatakan (oleh malaikat) kepada mereka: Berdirilah kalian, sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosa kalian dan keburukan-keburukan kalian pun telah diganti dengan berbagai kebaikan.”

(Tsabit; HR. ath-Thabrani; terdapat dalam Shahiihul Jami’)

4. Diampuni Allaah, serta diijabahkan doa-doa orang-orang yang ada dalam majelis tersebut

dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِنَّ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مَلَائِكَةً سَيَّارَةً فُضُلًا يَتَتَبَّعُونَ مَجَالِسَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا مَجْلِسًا فِيهِ ذِكْرٌ قَعَدُوا مَعَهُمْ وَحَفَّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِأَجْنِحَتِهِمْ حَتَّى يَمْلَئُوا مَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَإِذَا تَفَرَّقُوا عَرَجُوا وَصَعِدُوا إِلَى السَّمَاءِ

“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala memiliki para malaikat khusus yang senantiasa berkeliling mencari di mana adanya majelis-majelis dzikir. Apabila mereka menemukan sebuah majelis yang padanya terdapat dzikir maka mereka pun duduk bersama orang-orang itu dan meliputi mereka satu sama lain dengan sayap-sayapnya sampai-sampai mereka memenuhi jarak antara orang-orang itu dengan langit terendah, kemudian apabila orang-orang itu telah bubar maka mereka pun naik menuju ke atas langit.”

Nabi berkata,

قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ مِنْ أَيْنَ جِئْتُمْ

“Maka Allah ‘azza wa jalla pun bertanya kepada mereka padahal Dia adalah yang Maha Mengetahui keadaan mereka, ‘Dari mana kalian datang?’.

فَيَقُولُونَ جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عِبَادٍ لَكَ فِي الْأَرْضِ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيُهَلِّلُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيَسْأَلُونَكَ

Para malaikat itu menjawab, ‘Kami datang dari sisi hamba-hamba-Mu yang ada di bumi. Mereka mensucikan-Mu (bertasbih), mengagungkan-Mu (bertakbir), mengucapkan tahlil, dan memuji-Mu (bertahmid), serta meminta (berdo’a) kepada-Mu.’

قَالَ وَمَاذَا يَسْأَلُونِي

Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang mereka minta kepada-Ku?’.

قَالُوا يَسْأَلُونَكَ جَنَّتَكَ

Para malaikat itu menjawab, ‘Mereka meminta kepada-Mu surga-Mu.’

قَالَ وَهَلْ رَأَوْا جَنَّتِي

Allah bertanya, ‘Apakah mereka telah melihat surga-Ku?’.

قَالُوا لَا أَيْ رَبِّ

Mereka menjawab, ‘Belum wahai Rabbku.’

قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا جَنَّتِي

Allah mengatakan, ‘Lalu bagaimana lagi jika mereka benar-benar telah melihat surga-Ku?’.

قَالُوا وَيَسْتَجِيرُونَكَ

Para malaikat itu berkata, ‘Mereka juga meminta perlindungan kepada-Mu.’

قَالَ وَمِمَّ يَسْتَجِيرُونَنِي

Allah bertanya, ‘Dari apakah mereka meminta perlindungan-Ku?’.

قَالُوا مِنْ نَارِكَ يَا رَبِّ

Mereka menjawab, ‘Mereka berlindung dari neraka-Mu, wahai Rabbku’.

قَالَ وَهَلْ رَأَوْا نَارِي

Maka Allah bertanya, ‘Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku?’.

قَالُوا لَا

Mereka menjawab, ‘Belum, wahai Rabbku.’

قَالَ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْا نَارِي

Lalu Allah mengatakan, ‘Lalu bagaimanakah lagi jika mereka telah melihat neraka-Ku.’

قَالُوا وَيَسْتَغْفِرُونَكَ

Mereka mengatakan, ‘Mereka meminta ampunan kepada-Mu.’

قَالَ فَيَقُولُ قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَأَعْطَيْتُهُمْ مَا سَأَلُوا وَأَجَرْتُهُمْ مِمَّا اسْتَجَارُوا

Maka Allah mengatakan, ‘Sungguh Aku telah mengampuni mereka. Dan Aku telah berikan apa yang mereka minta dan Aku lindungi mereka dari apa yang mereka minta untuk berlindung darinya.’.”

قَالَ فَيَقُولُونَ رَبِّ فِيهِمْ فُلَانٌ عَبْدٌ خَطَّاءٌ إِنَّمَا مَرَّ فَجَلَسَ مَعَهُمْ

Nabi bersabda, “Para malaikat itu berkata, ‘Wahai Rabbku, di antara mereka ada si fulan, seorang hamba yang telah banyak melakukan dosa, sesungguhnya dia hanya lewat kemudian duduk bersama mereka.’.”

قَالَ فَيَقُولُ وَلَهُ غَفَرْتُ هُمْ الْقَوْمُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ

Nabi mengatakan, “Maka Allah berfirman, ‘Dan kepadanya juga Aku akan ampuni. Orang-orang itu adalah sebuah kaum yang teman duduk mereka tidak akan binasa.’.”

[HR. Muslim dalam Kitab ad-Dzikr wa ad-Du’a wa at-Taubah wa al-Istighfar, hadits no. 2689, lihat Syarh Muslim [8/284-285] cetakan Dar Ibn al-Haitsam); sumber:http://abumushlih.com/keutamaan-majelis-dzikir.html/%5D

5. Diridhai oleh malaikat

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ

“Sunnguh Para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu”

[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid); Sumber:sumber]

6. Dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi hinga ikan yang ada didasar laut

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ

Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut.

[idem]

7. Dengan menuntut ilmu, kita bisa meraih keutamaan seorang alim

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

Kelebihan serang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang.

[idem]

8. Ilmu merupakan warisan dari nabi, para penuntut ilmu adalah pencari warisan nabi.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.

[idem]

Tercelanya orang-orang yang MENINGGALKAN atau MALAS menghadiri majelis ilmu

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

لَا يُوشِكُ رَجُلٌ يَنْثَنِي شَبْعَانًا عَلَى أَرِيكَتِهِ

“Kiranya tak akan lama lagi ada seorang laki-laki yang duduk dalam keadaan kenyang di tempat duduknya…”

(HR. Ahmad (dan ini lafazhnya); Abu Dawud, Ibnu Abdil Barr, al-Khatib al-Baghdadiy, Ibnu Nashr al-Mawarziy, al-Ajurriy, al-Baihaqiy; dari jalur Hariz bin ‘Utsman; juga jalur ‘Abdullah bin Abi Auf; dan dari jalur al-Miqdam; Dishahihkan syaikh salim bin ‘ied al-Hilaliy)

Al-Imam Al-Baghawi menyatakan:

“Yang dimaksud dengan sifat ini (laki-laki besar perutnya yang bersandar di kursi sofa) adalah orang-orang yang bergaya hidup mewah dan angkuh yang hanya berdiam di rumah dan TIDAK MAU MENUNTUT ILMU AGAMA…”

(Syarhus Sunnah: 1/201; sumber petikan)

Ulama salaf terdahulu melarang orang yang hanya berguru kepada buku untuk mengajar dan berfatwa, sebagaimana mereka melarang belajar al qur’an dari orang yang tidak pernah talaqqi

dari Al ‘Auza’i ia berkata:

مَا زَالَ هَذَا الْعِلْمُ عَزِيزًا تَتَلَاقَاهُ الرِّجَالُ حَتَّى وَقَعَ فِي الصُّحُفِ فَحَمَلَهُ أَوْ دَخَلَ فِيهِ غَيْرُ أَهْلِهِ

“Ilmu ini senantiasa mulia, yang senantiasa digali oleh manusia secara langsung (talaqqi); hingga (kemudian, ilmu pun) ditulis dalam lembaran-lembaran, lalu ia (pun) membawanya kepada seseorang yang bukan ahlinya, (hingga  orang itu pun) ikut campur tangan”.

(ad-Darimiy)

Abu Zur’ah berkata :

“Shåhafi (yang hanya berguru kepada buku) tidak boleh berfatwa…”.

(Al Faqih wal mutafaqqih 2/97).

Imam Asy Syafi’I berkata :

“Barang siapa yang bertafaqquh dari perut buku ia akan menyia siakan hukum “.

(tadzkirotussaami’ wal mutakallim hal 87).

Seorang penya’ir berkata :

Siapa yang mengambil ilmu dari mulut guru

Ia akan terhindar dari penyimpangan dan perubahan.

Dan siapa yang mengambil ilmu hanya dari buku

Maka ilmunya disisi para ulama seperti tidak ada.

Dalam kitab wafayatul a’yan (3/310) Al Hafidz ibnu ‘Asakir rahimahullah bersya’ir :

Jadilah engkau orang yang mempunyai semangat

Dan jangan bosan mengambil ilmu dari para ulama

Jangan engkau mengambilnya sebatas dari buku

Niscaya engkau akan terkena tashif dengan penyakit yang berat

Nasehat dari para ulama untuk menuntut ilmu dan mendatangi majelis ilmu para ulama

Fatwa Syaikh Yahya an-Najmi

Ilmu itu diambil dari mulut para ‘ulama. Maka seorang penuntut ilmu, agar kokoh dalam ilmu di atas pondisi yang benar, maka hendaknya ia bermulazamah kepada ‘ulama, talaqqi (mengambil) ilmu langsung dari mereka. Sehingga pencarian ilmunya tegak di atas kaidah-kaidah yang benar. mampu melafazhkan nash-nash qur’ani dan hadits dengan pelafazhan yang benar, tidak ada kesalahan maupun kekeliruan. Memahami ilmu dengan pemahaman yang tepat sesuai maksudnya.

Dan lebih dari itu, dia bisa mengambil faidah dari ‘ulama : adab, akhlaq, dan sifat wara’. Hendaknya dia menghindar agar jangan sampai yang menjadi gurunya adalah kitab. Karena sesungguhnya barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka ia akan banyak salahnya sedikit benarnya.

Demikianlah, inilah yang terjadi pada umat ini. Tidak seorang tampil menonjol dalam ilmu kecuali ia sebelumnya telah tertarbiyyah dan terdidik di hadapan ‘ulama.

Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql

Salah satu gejala yang berbahaya adalah belajar hanya dengan mengandalkan sarana-sarana ilmu (seperti buku dan sejenisnya). Misalnya seorang penuntut ilmu merasa cukup mengambil ilmu melalui buku-buku lalu menyingkir dari manusia, menjauhkan diri dari ulama, mengabaikan orang-orang shalih, orang-orang yang berjasa terhadap Islam yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, serta memisahkan diri dari ulama, ia berkata : ‘Saya cukup belajar dari buku-buku, kaset-kaset, radio dan lain-lain’. Kemudian ia bekata lagi : ‘Saya mampu belajar melalui sarana-sarana ini!’.

Jawaban kami :

‘Tentu saja, sarana-sarana ini merupakan nikmat, tetapi juga merupakan senjata bermata dua.Merasa cukup belajar ilmu-ilmu syar’i melalui sarana-sarana itu merupakan kekeliruan dan merupakan salah satu sebab timbulnya perpecahan umat. Karena hal itu akan mendorongnya untuk beruzlah (menyendiri) yang dilarang. Atau akan memunculkan sosok ahli ilmu yang tidak baik,karena mereka mengambil ilmu tidak sebagaimana mestinya, tidak berdasarkan kaidah dan tanpa petunjuk dan bimbingan alim ulama.

Mereka mengambil ilmu menurut cara mereka sendiri, dengan hawa nafsu, perasaan dan perhitungan pribadi mereka sendiri. Apabila terjadi pertikaian, mereka menyimpang dan menolak pendapat ulama. Padahal meskipun seseorang mempunyai kepandaian dan kemampuan serta memiliki keahlian khusus seperti apapun, ia tidak akan mungkin dengan sendirinya akan sampai kepada kebenaran selama ia tidak mengenal pedoman-pedoman salaf dan ahli ilmu pada zamannya”

[Disalin dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu ashabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari; almanhaj.or.id]

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Beliau ditanya

bolehkah belajar ilmu dari kitab-kitab saja tanpa belajar kepada ulama, khususnya jika ia kesulitan belajar kepada ulama karena jarangnya mereka? Bagaimana pendapat Anda tentang ucapan yang menyatakan: barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada benarnya?

Beliau menjawab:

Tidak diragukan lagi bahwa ilmu bisa diperoleh dengan mempelajarinya dari para ulama dan dari kitab. Karena, kitab seorang ulama adalah ulama itu sendiri, dia berbicara kepadamu tentang isi kitab itu. Jika tidak memungkinkan menuntut ilmu dari ahli ilmu maka ia boleh mencari ilmu dari kitab.

Akan tetapi memperoleh ilmu melalui ulama lebih dekat (mudah) daripada memperoleh ilmu melalui kitab, karena orang yang memperoleh ilmu melalui kitab akan banyak menemui kesulitan dan membutuhkan kesungguhan yang besar, dan akan banyak perkara yang akan dia fahami secara samar sebagaimana terdapat dalam kaidah syar’iyyah dan batasan yang ditetapkan oleh para ulama. Maka dia harus mempunyai tempat rujukan dari kalangan ahli ilmu semampu mungkin.

Adapun perkataan yang menyatakan:

‘barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada benarnya.’

Perkataan ini tidak benar secara mutlak, tetapi juga tidak salah secara mutlak. Jika seseorang mengambil ilmu dari semua kitab yang dia lihat, maka tidak ragu lagi bahwa dia akan banyak salah. Adapun orang yang mempelajarinya bersandar kepada kitab orang-orang yang telah dikenal ketsiqahannya, amanahnya, dan ilmunya, maka dalam hal ini dia tidak akan banyak salah bahkan dia akan banyak benarnya dalam perkataannya.

[Kitabul ‘Ilmi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]

Fatwa Syaikh Ibrahim ar-Ruhailiy

Pertanyaan :

Tentang perkataan al-Imam Malik “ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi” ketika khalifah Harun ar-Rasyid memintanya untuk mengajari Makmun, ia (al-Imam Malik, pent) berkata : “datanglah ke masjid an-Nabawi” tempat dimana al-Imam Malik mengajar. Apakah ini bertentangan dengan perkataan kita tadi bahwa seorang da’i datang kepada mad’u?

Jawaban :

Ini tidak bertentangan, dan masalah ini sebagaimana yang telah kami sebutkan pada banyak masalah bahwa ini ada perinciannya.

Pada asalnya dahulu, bahkan pada petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa manusia yang berhijrah ke Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mendatanginya dan Nabi mengajari mereka. Ini adalah asalnya pada manusia.

Akan tetapi terkadang jika ada penghalang antara manusia dan hijrah hal ini tidak mencegah dari diutusnya seseorang kepada mereka yang akan mengajari mereka. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus sebagian shahabatnya untuk mengajari manusia. Beliau mengutus Mu’adz ke Yaman dan ke Syam untuk mengajari manusia. Dan beliau juga mengutus sebagian shahabatnya untuk mengajari manusia ke Madinah sebelum hijrah.

Maka jika sebagian masalah rancu bagi kalian, kembalilah kepada petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Jika ilmu itu harus didatangi, kenapa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirim sebagian orang untuk mengajari manusia. Kemudian setelah meninggalnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, banyak shahabat keluar dari Madinah untuk mengajari manusia dan untuk memahamkan mereka. Maka masalah ini punya perincian.

Pada asalnya para penuntut ilmu merekalah yang mendatangi para ‘ulama, karena para ‘ulama tidak mungkin datang ke setiap tempat, (para penuntut ilmu) belajar dan menuntut ilmu pada mereka.

Akan tetapi jika ada penghalang antara sebagian penuntut ilmu dan sebagian manusia dari hijrah dan datang kepada para ‘ulama maka tidaklah dilarang bagi seorang ‘ulama untuk mempertimbangkan dan datang kepada mereka untuk mengajari mereka. Maka yang ini termasuk Sunnah dan yang itu termasuk Sunnah.

Dan aku selalu memperingatkan dari mengambil perkataan sebagian Salaf dan tidak memperhatikan perkataan lainnya yang bertentangan dengannya, dan membuat hukumnya umum.

Jadi perkataan ini, ini benar, dan ini adalah pada asalnya, oleh karena itu perhatikanlah! Manusia berhijrah kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi apakah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan : “Tidaklah kami mengajarkan ilmu kepada manusia yang didatangi kepada mereka dan kita tidak mengutus seorangpun”? Tidak.

Maka bagi orang yang mampu datang, belajar dan bertafaqquh. Dan barangsiapa yang antaranya dengan hijrah terhalang dengan suatu urusan seperti kelemahan dan yang lainnya, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus kepada mereka orang yang mengajari mereka.

Jika rancu sebagian perkara maka kembalilah kepada petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam sehingga jelaslah perkara. Dan kami selalu tidak menganggap ditaqrirnya sesuatu dari agama ini kecuali dengan dalilnya. Maka ini adalah dalil yang jelas dan nyata bahwa ditempuh cara yang ini dan yang itu.

Asalnya bagi para ‘ulama adalah mereka didatangi, akan tetapi jika ada penghalang antara sebagian manusia untuk datang kepada para ‘ulama, maka para ‘ulama (hendaknya) mempertimbangkan untuk pergi ke sebagian tempat untuk mengajari manusia (yang tidak ada, atau sangat jarang ahli ilmu-nya, -ed). Na’am.

[Diterjemahkan dari rekaman Dauroh Masyayikh Madinah di Kebun Teh Wonosari Lawang – Malang Juli 2007. File : syaikh ibrohim 3.mp3 >> 65:46 – 69:12; tholib.wordpress.com]

sumber: https://abuzuhriy.wordpress.com/2012/08/03/tuntutlah-ilmu-dengan-mendatangi-majelis-ilmu/

Random Ayat

Asmaul Husna

Asmaul Husna

Tanggal Hijriah

Jadwal Shalat

Ramadhan 1439 H

VIVA.co.id

Berita – Eramuslim

Home

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang anak lelaki yang masih dan terus belajar untuk menjadi ayah yang amanah, suami yang mengayomi dan guru yang memberi, serta al-faqir ilalloh yang berharap bisa memberi manfaat untuk tegaknya agama dan bersatunya ummat